Peternak rakyat dan masyarakat desa dengan teknologi minim selalu dijadikan alasan peningkatan populasi sapi nasional berjalan lambat sehingga permintaan daging dalam negeri harus dipenuhi dengan jalan impor.
Padahal, sudah seharusnya program yang dibuat mengacu pada kondisi dan budaya Indonesia atau spesifik karakteristik setiap wilayah (berbasis kawasan).
Misalnya Indonesia sebagai negara muslim terbesar. Ini tentu dapat diprediksi kapan permintaan daging tinggi (bedasarkan kalender hijriah).Â
Mulai dari sini mungkin bisa dilakukan pengaturan perkawinan, meskipun musim kawin baiknya diatur berdasarkan musim (kemarau ataupun penghujan), kaitannya dengan ketersediaan pakan dan menekan angka mortalitas bagi pedet yang baru lahir.
Namun, sejauh ini nampaknya pengaturan perkawinanpun masih jarang diperhatikan oleh peternak rakyat yang menjadi tulang punggung populasi sapi nasional.
Sedangkan dengan pola pemeliharaan sapi di Indonesia yang umumnya dikandangkan karena keterbatasan lahan dan skala kepemilikan yang rendah, tentu persoalan pakan dan kesehatan dapat dikontrol sendiri oleh peternak, dengan catatan adanya introduksi teknologi.
Berangkat dari hal-hal sederhana yang ada di masyarakat seperti ini, bukan tidak mungkin swasembada dapat tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H