Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kita Belum Malu Mencontek

10 Juni 2020   05:06 Diperbarui: 10 Juni 2020   05:14 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang rekan kerja saya tampaknya sedikit kesal melihat hasil ulangan kenaikan kelas yang baru saja dilaksanakan. Penuh semangat rekan saya mengoreksi hasil ulangan siswa, namun semangatnya segera surut melihat hasil kerja siswa.

"Aduh Pak, pusing pala berbie." Begitu curhatannya di aplikasi Whatsapp. "Heran saya, siswa ulangan dari rumah, masing-masing mengerjakannya dari rumah, tapi kok jawaban anak-anak sama semua?" Hahaha, ternyata bukan saya saja yang mengalaminya.

Dua hari lalu saya melaksanakan ulangan kenaikan kelas. Teknisnya, saya dan siswa berkumpul di Whatsapp Group (WAG), kemudian saya mengirimkan soal Ulangan ke group agar semua siswa membacanya. Siswa bebas mengerjakannya dengan membaca referensi mana saja. Sebelumnya saya sudah memastikan bahwa soal yang saya buat belum ada di internet, supaya siswa tidak mencari jawabannya di internet. Siswa saya beri kepercayaan untuk mengerjakannya sendiri, tidak dengan bantuan orang lain.

Saya membatasi ulangan dengan waktu yang saya perhitungkan cukup untuk menyelesaikan soal. Tidak terlalu singkat supaya siswa yang kemampuannya pas-pasan masih punya cukup waktu untuk mencoba dan berusaha.

Siswa harus mengirimkan jawaban ke WA saya secara pribadi, kalau ke group akan terjadi nyontek rame-rame. Tidak boleh melewati batas waktu pengiriman. Terlambat satu menit akan mengurangi satu nilai. Siswa tidak akan berani ketinggalan, takut nilainya habis terpotong waktu keterlambatan.

Saya lebih suka menggunakan soal uraian dari pada soal pilihan berganda. Memang lebih sulit untuk mengoreksinya, namun saya menghindari siswa menjawabnya dengan tebak-tebakan, atau hitung kancing baju. Dengan soal uraian saya lebih bisa mengukur kreatifitas dan pemahaman siswa dalam menyelesaikan soal.

Saya mengoreksi satu per satu dan memberi masukan pada setiap kesalahan yang dilakukan siswa. Itu sudah lazim dilakukan guru saat mengoreksi. Namun yang paling saya soroti adalah jawaban yang sama persis. Biasanya saya akan mengelompokkannya, membuat catatan dan mengingat-ingat di kelas siswa ini berteman akrab dengan siapa saja. Biasanya jawaban mereka akan sama.

Benar saja, seperti yang rekan saya alami, jawaban siswa banyak yang sama persis. Sama letak kesalahannya, bahkan kekeliruan yang tak disengaja pun sama, misalnya kesilapan dalam menulis pangkat dua dengan pankat satu. Jika kesamaan kecil seperti ini sama, saya akan mengelompokkannya. Setelah saya koreksi, saya akan menghubungi mereka yang jawabannya persis sama, dan tak dapat mengelak lagi, mereka ketahuan.

Kebiasaan mencontek sangat merusak para siswa. Dalam satu ulangan, jika tidak dengan pengawasan yang serba ketat, kita akan disajikan dengan pemandangan kertas yang beterbangan, pena yang jatuh dengan sengaja lalu dilanjutkan dengan pura-pura mengambil pena yang jatuh. Lebih trend lagi, share photo lembar jawaban. Seluruh siswa dalam satu ruangan ulangan akan berusaha memecah konsentrasi pengawas, supaya sebisa mungkin untuk melancarkan aksinya.

Bahkan saya pernah menemukan siswa yang mengirimkan foto lembar jawaban siswa lainnya alih-alih membuat jawaban sendiri. Untungnya saya jeli memperhatikan perbedaan jenis kertas yang di foto, semuanya berbeda. Ternyata foto lembar jawaban temannya yang dicrop lalu dikirimkan ke saya. Memilih cara menyimpang dan menganggap itu sebuah kebanggaan.

Kebiasaan mencontek itu seolah sudah lumrah bagi pelajar sekarang. Tidak hanya ulangan, untuk tugas-tugas pun berlaku hal yang sama. Saya membiasakan tugas dikumpulkan satu hari sebelum pertemuan berikutnya, saya sudah jenuh dengan pemandangan ini. Setiap pagi saat saya mengajar di jam pertama pelajaran, jika sebelumnya kelas itu punya tugas, maka kebanyakan siswa akan datang lebih awal lalu ramai-ramai menyalin hasil pekerjaan temannya.

Saya kira hanya di pagi hari yang seperti itu. Saya mengajar di jam terakhir juga hasilnya ternyata sama. Saat saya minta agar tugasnya dikumpulkan, disaat itulah usaha untuk mulai menyelesaikan tugas baru dimulai. Artinya, mereka tidak menyiapkannya dari rumah. Menunggu keberuntungan, guru lupa menagih tugas.

Kebiasaan mencontek di kalangan siswa ini adalah pertanda sudah pudarnya mentalitas kejujuran dalam proses pendidikan. Bukan tidak ada yang memegang prinsip idealisme itu. Masih ada, namun jumlahnya tak seberapa. Apa yang salah?

Mencontek Belum Dianggap Kejahatan

Mencontek sudah menjadi hal lumrah. Hampir semua melakukannya. Mengapa tumbuh subur? Bisa jadi kita menganggapnya sepele. Adakah mencontek dicantumkan dalam peraturan sekolah? Jika ada, berapa skor pelanggarannya? Jika siswa kedapatan melakukannya, sanksinya biasanya hanya teguran. Tak pernah dituliskan dalam catatan akademik siswa.

Saya pernah menyaksikan satu adegan drama korea (jadi ketahuan suka nonton drakor, hehe) bagaimana siswa dalam adegan itu ketakutan jika ketahuan mencontek. Dampaknya bisa sampai tidak diterima di sekolah mana pun. Saya tidak tahu apa itu benar, tapi begitu adegannya.

Bagaimana dengan kita? Mencontek belum menjadi sesuatu yang jahat. Masih dianggap lumrah. Orang tua yang siswa yang ketahuan mencontek ketika diminta hadir untuk membantu menangani masalah pendidikan anaknya hanya merespon "Oh hanya mencontek, saya kira ada masalah besar." Gambaran masyarakat pun permisif terhadap kebiasaan mencontek.

Kurangnya Teladan 

Boleh jadi siswa kurang melihat teladan bahwa tidak mencontek itu sebagai jalan keberhasilan. Yang ada mereka disuguhi bahwa mencontek menjadi jalan mudah untuk berhasil. Tak jarang, mereka justru melihat orang dewasa yang mencontek.

Omong-omong, negara kita juga pasti pernah mencontek. Apakah itu ide, kebijakan, program atau ilmu pengetahuan negara lain. Kurikulum kita sendiri pun sebenarnya hasil mencontek dari negara lain, namun tidak serta merta mengambil secara sama persis, tapi dimodifikasi, disesuaikan dengan budaya kita.

Saya ambil contoh, Finlandia sebagai contoh negara yang tingkat pendidikannya maju, siswanya tidak diberi Pekerjaan Rumah (PR). Lalu ramai-ramai di Indonesia ingin menerapkannya, lupa degan masyarakat kita belum bisa menerimanya. Yang ada siswa merasa merdeka tanpa PR.

Tidak usah jauh-jauh, guru juga sering kedapatan mencontek. Berapa banyak guru yang untuk naik pangkat benar-benar membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) sendiri? Kebanyakan copas dari internet.

Bahkan kasus yang sempat hangat tentang plagiat karya ilmiah dari seorang akademisi Indonesia. Seorang yang punya intelektualitas yang mumpuni pun ternyata kecipratan dosa mencontek.

Makin Merunduk Makin Berisi

Saya kembali ke jalur siswa saya saja. Takut juga ngomongin plagiat-plagiat. Saat belajar di kelas jangan coba-coba melemparkan remasan kertas ke teman, kalau tidak ingin terjadi keributan. Namun beda hal nya jika sedang ujian, siswa yang kena lemparan kertas adalah yang paling berbahagia. Asikkk ada contekan datang.

Biasanya yang kita dengar adalah ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Beda halnya ketika ujian, makin merunduk makin berisi. Semakin sering menunduk melihat contekan di bawah meja, makin cepatlah lembar jawaban terisi.

Kondisi ini tentu memprihatinkan. Bagaimana pun siswa-siswa ini adalah generasi penerus kita. Jika gambarannya seperti ini, maka masa depan akan diisi generasi yang tak malu lagi mencontek.

Kita harus melakukan sesuatu. Generasi ini harus disadarkan. Pertama, orang tua perlu membantu sekolah menekankan pentingnya menjaga nilai kejujuran. Menanyakan apakah tgas-tugas anak sudah diselesaikan langkah sederhana untuk membantu anak bersikap jujur terhadap tugasnya. Kemudian mengingatkan anak-anak kita untuk menjunjung tinggi nilai kejujuran itu.

Kedua, sekolah perlu membudayakannya tidak sebatas slogan di spanduk (mudah-mudah spanduknya gak salah translate jika keinggris-inggrisan). Tidak sebatas dituliskan dalam peraturan namun menjadi budaya yang dihidupkan. Mari membangun budaya, malu jika mencontek.

Ketiga, masyarakat pun perlu menjadi kontrol bukan malah meracuni. Masyarakat harus menjadi tempat berlomba untuk mengaplikasikan budaya anti mencontek. Jika setiap orang memegang prinsip anti mencontek, maka yang ketahuan mencontek akan tersisih dengan sendirinya.

Keempat, negara pun perlu menunjukkan budaya anti mencontek. Mari maju tanpa mencontek. Mari membuat kebijakan dengan tidak mencontek, membangun peradaban yang benar-benar mencirikan kita, karya kita, pemikiran kita, segalanya tentang kita.

Terakhir, diri kita sendiri. Mari berkomitmen malu jika mencontek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun