Saya kira hanya di pagi hari yang seperti itu. Saya mengajar di jam terakhir juga hasilnya ternyata sama. Saat saya minta agar tugasnya dikumpulkan, disaat itulah usaha untuk mulai menyelesaikan tugas baru dimulai. Artinya, mereka tidak menyiapkannya dari rumah. Menunggu keberuntungan, guru lupa menagih tugas.
Kebiasaan mencontek di kalangan siswa ini adalah pertanda sudah pudarnya mentalitas kejujuran dalam proses pendidikan. Bukan tidak ada yang memegang prinsip idealisme itu. Masih ada, namun jumlahnya tak seberapa. Apa yang salah?
Mencontek Belum Dianggap Kejahatan
Mencontek sudah menjadi hal lumrah. Hampir semua melakukannya. Mengapa tumbuh subur? Bisa jadi kita menganggapnya sepele. Adakah mencontek dicantumkan dalam peraturan sekolah? Jika ada, berapa skor pelanggarannya? Jika siswa kedapatan melakukannya, sanksinya biasanya hanya teguran. Tak pernah dituliskan dalam catatan akademik siswa.
Saya pernah menyaksikan satu adegan drama korea (jadi ketahuan suka nonton drakor, hehe) bagaimana siswa dalam adegan itu ketakutan jika ketahuan mencontek. Dampaknya bisa sampai tidak diterima di sekolah mana pun. Saya tidak tahu apa itu benar, tapi begitu adegannya.
Bagaimana dengan kita? Mencontek belum menjadi sesuatu yang jahat. Masih dianggap lumrah. Orang tua yang siswa yang ketahuan mencontek ketika diminta hadir untuk membantu menangani masalah pendidikan anaknya hanya merespon "Oh hanya mencontek, saya kira ada masalah besar."Â Gambaran masyarakat pun permisif terhadap kebiasaan mencontek.
Kurangnya TeladanÂ
Boleh jadi siswa kurang melihat teladan bahwa tidak mencontek itu sebagai jalan keberhasilan. Yang ada mereka disuguhi bahwa mencontek menjadi jalan mudah untuk berhasil. Tak jarang, mereka justru melihat orang dewasa yang mencontek.
Omong-omong, negara kita juga pasti pernah mencontek. Apakah itu ide, kebijakan, program atau ilmu pengetahuan negara lain. Kurikulum kita sendiri pun sebenarnya hasil mencontek dari negara lain, namun tidak serta merta mengambil secara sama persis, tapi dimodifikasi, disesuaikan dengan budaya kita.
Saya ambil contoh, Finlandia sebagai contoh negara yang tingkat pendidikannya maju, siswanya tidak diberi Pekerjaan Rumah (PR). Lalu ramai-ramai di Indonesia ingin menerapkannya, lupa degan masyarakat kita belum bisa menerimanya. Yang ada siswa merasa merdeka tanpa PR.
Tidak usah jauh-jauh, guru juga sering kedapatan mencontek. Berapa banyak guru yang untuk naik pangkat benar-benar membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) sendiri? Kebanyakan copas dari internet.