Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Setelah 12 Tahun

24 September 2019   20:11 Diperbarui: 24 September 2019   20:28 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Salon Surya tidak begitu ramai. Santi,pemilik salon dengan cermat membubuhkan obat pelurus rambut ke kepalaku. Sesekali sahabatku mengoceh soal perjalanan cintanya yang nggak pernah mulus.

"Kau nggak berniat menikah lagi, Rin?" tanya Santi mengejutkanku.

"Pernikahan nggak semudah dikatakan, San. Aku masih takut dengan ikatan, kau bahkan tahu aku selalu menghindar dari lelaki-lelaki yang mendekatiku," sahutku lirih

Sahabatku sejak sepuluh tahun itu terbahak. Sementara tangannya  mengoleskan krim, dia terus saja meledek. Aku hanya diam sambil sesekali  tersenyum kecut. Semua perkataannya benar. Aku mungkin memang pengecut. Sejak bercerai dua belas tahun lalu, aku hanya sekali menjalin hubungan dengan lelaki. Itu pun harus kandas karena dia nggak mau dianggap mendekatiku karena uang semata.

***

Aku terlahir sebagai perempuan Jawa dengan aturan adat yang kuat. Sejak kecil keluarga besar di puri menerapkan aturan yang ketat. Jangankan berpacaran. berkawan dengan lawan jenis saja dilarang. Pada usia lima belas tahun, aku sudah dijodohkan dengan dalih memelihara keturunan dengan menimbang bibit,bobot,bebetnya.

Tepat di usia duapuluh tahun aku menikah dengan Mas Bayu, putra pengusaha batik dari trah Mangkunegaran. Penikahan kami hanya bertahan tujuh tahun. Kebiasaan mantan suamiku yang suka bermain perempuan membuatku jengah. Perceraian kami ditentang oleh keluarga besarku. Ancaman dikeluarkan dari silsilah dan tidak mendapat hak waris, sama sekali tidak membuatku gentar sedikit pun.

Setelah bercerai, aku menepi di ujung timur kota Solo, bekerja sebagai petani sambil sesekali turun ke Solo menengok kedua putri kecilku. Sampai satu ketika, Santi mengajak aku bergabung dengan Event Organizer miliknya. Dari situ aku bertemu dengan banyak orang, salah satunya Rendy. Dia seorang penulis Dari Rendy aku belajar menulis. Melupakan semua rasa sakit yang timbul dari ketidakberdayaanku sebagai perempuan.

Akan tetapi, hubungan kami tidak bertahan lama. Rendy pergi setelah berhasil membuatku menjadi penulis amatir. Alasan kepergiannya begitu mengada-ada. Dia takut dianggap sebagai lelaki menumpang hidup pada perempuan.

Sejak saat itu hatiku tertutup untuk lelaki mana pun. Apalagi sebagai janda, banyak yang memandang sebelah mata. Hatiku makin tertutup saat seorang lelaki lain menawarkan diri sebagai pemuas nafsu sesaat dengan bayaran seikhlasnya. Aku merasa sangat dilecehkan, apakah status janda adalah pintu masuk  bagi manusia pemangsa? Apakah jika perempuan berststus janda, dia sangat terlihat haus sex? Apalagi yang melecehkanku adalah seseorang yang seharusnya paham siapa diriku, karena kami bersahabat cukup lama, meskipun hanya di dunia maya.

***

"Keramas!' Santi membangunkanku dari lamunan masa lalu.

Sembari mengeramasiku, lagi-lagi Santi berceloteh panjang lebar. Perempuan yang empat tahun lebih tua dariku itu kembali menceramahiku soal kodratku sebagai perempuan.

"Memangnya kau nggak punya keinginan untuk berhubungsn sex lagi?' tanyanya usil, "berjamur lho nanti, Rin!"

Aku tersedak, sedekat apa pun hubungan kami, dan meskipun dia sangat terbuka denganku dengan menceritakan perselingkuhannya dengan beberapa pria, aku menutup rapat satu rahasia padanya.

"Aku bukan malaikat, San. Keinginan untuk itu selalu ada, tapi aku mengalihkan dengan bekerja dan meditasi," tandasku.

"Kau menyiksa diri, Sayang!" sergah Santi, "kau lupa beberapa mahasiswa yang magang di EO kita bisa kau manfaatkan, menopause dini nanti kau kalau sama sekali tidak tersentuh lelaki."

Aku hanya tersenyum pahit 'Kau tidak tahu, San. Aku tak senaif pikiranmu sekarang. Setidaknya sejak kemarin siang.'

Setengah jam kemudian, semua proses perawatanku selesai. Santi masuk ke dalam rumah yang hanya dipisahkan pintu kaca untuk pamit pada Mas Arif, suaminya. Sahabatku ini beralasan akan mengantarkan aku pulang ke rumah yang berjarak empat puluh dua kilo dari Solo.

"Ayo!" ajaknya, "Aku wis pamit ro bojoku, arep nginep omahmu," katanya lagi.

Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Aku tahu, alasan Santi menginap di rumahku hanyalah alat untuk menutupi kepergiaanya dengan Sonny. Aku mengenal, atau lebih tepat dikenalkan pada Sonny tiga tahun lalu. Lelaki beristri itu kemudian menjadi kekasih sahabatku. Aku bukan tidak menyukainya, semua keputusan adalah hak mereka. Meskipun aku tahu, Sonny adalah lelaki pengeretan.  

"Carilah pacar, Rin! Bukan untuk menikah, aku tahu kau nggak mau terikat pernikahan dengan siapa pun setelah relasimu dengan Rendy berantakan," ujar Santi, "just for having sex!"

Lagi-lagi aku hanya tersenyum, 'Aku sudah menemukan, San. Dia yang memahami passion gilaku tanpa menuntut apa pun.'

Aku turun di pasar Matesih kemudian meneruskan perjalanan dengan ojek. Sementara Santi melanjutkan ke Tawangmangu menemui Sonny di suatu tempat.

***

Aku menyalakan lampu teras sesaat setelah mandi, kemudian masuk ke ruang kerja. Ada beberapa draft run down acara yang harus segera diselesaikan. Namun, satu jam berlalu tanpa satu huruf pun tercetak di layar laptopku. Pertanyaan dan pernyataan Santi mengusikku. Membawa ingatanku pada sosok bernama Abhinaya.

Aku pertama kali berinteraksi dengannya karena tergelitik status di media sosial yang ditulisnya. Dalam dunia kepenulisan, aku memang sedikit liar berimajinasi sehingga banyak yang menghakimiku sebagai penulis dengan mazhab selangkangan. Dari komentar sederhana berlanjut janjian untuk bertemu di satu tempat. Janji pertama terpaksa kubatalkan karena keraguan yang tiba-tiba meyeruak.

Dan kemarin siang, pertemuan terjadi dengan banyak keabsurdan.

***

[Mampus! Supir Grabnya tetanggaku!] tulisku pada pesan Whatapps.

[ Kujemput ] balasnya.

[Aja golek perkara! Tunggu saja nanti]

***

Di ruangan berukuran empat kali lima, aku dan Abhinaya berdiskusi tentang kepenulisan dan banyak hal. Entah siapa yang memulai, satu persatu pakaian yang menempel mulai luruh di lantai. Siapa merangsang siapa tak penting lagi. Kesombongan yang selama ini kuagungkan karena merasa tidak butuh lelaki dihancurkan begitu saja.

"No gigit!" pintaku yang disahuti gumam tak jelas.

Dua belas tahun sudah berlalu, dan kembali aku disadarkan bahwasanya aku tetap perempuan yang membutuhkan sentuhan lelaki.

***

Ketukan di pintu membuatku sadar dari lamunan.

"Bu, kopine pun adem, lho!" ujar Mbak Yanti, asisten rumah tanggaku mengingatkan.

Aku mengangguk, mematikan laptop dan melangkah ke ruang tengah dimana kopi sore dan sepiring pisang goreng sudah disediakan Mbak Yanti.

"Jika nanti ada kesempatan bertemu lagi, aku ingin kau tak memperlakukan aku seperti kaca rapuh, Bi. Sedikit remasan mungkin akan lebih menggairahkan, asal tanpa jejak," gumamku.

Langit di lereng Lawu mulai berkabut, seperti hidupku yang begitu rumit. Tersimpul tapi tanpa ikatan dengan lelaki yang baru aku kenal.

#poeds 070819

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun