Di ruangan berukuran empat kali lima, aku dan Abhinaya berdiskusi tentang kepenulisan dan banyak hal. Entah siapa yang memulai, satu persatu pakaian yang menempel mulai luruh di lantai. Siapa merangsang siapa tak penting lagi. Kesombongan yang selama ini kuagungkan karena merasa tidak butuh lelaki dihancurkan begitu saja.
"No gigit!" pintaku yang disahuti gumam tak jelas.
Dua belas tahun sudah berlalu, dan kembali aku disadarkan bahwasanya aku tetap perempuan yang membutuhkan sentuhan lelaki.
***
Ketukan di pintu membuatku sadar dari lamunan.
"Bu, kopine pun adem, lho!"Â ujar Mbak Yanti, asisten rumah tanggaku mengingatkan.
Aku mengangguk, mematikan laptop dan melangkah ke ruang tengah dimana kopi sore dan sepiring pisang goreng sudah disediakan Mbak Yanti.
"Jika nanti ada kesempatan bertemu lagi, aku ingin kau tak memperlakukan aku seperti kaca rapuh, Bi. Sedikit remasan mungkin akan lebih menggairahkan, asal tanpa jejak," gumamku.
Langit di lereng Lawu mulai berkabut, seperti hidupku yang begitu rumit. Tersimpul tapi tanpa ikatan dengan lelaki yang baru aku kenal.
#poeds 070819
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H