"Keramas!' Santi membangunkanku dari lamunan masa lalu.
Sembari mengeramasiku, lagi-lagi Santi berceloteh panjang lebar. Perempuan yang empat tahun lebih tua dariku itu kembali menceramahiku soal kodratku sebagai perempuan.
"Memangnya kau nggak punya keinginan untuk berhubungsn sex lagi?' tanyanya usil, "berjamur lho nanti, Rin!"
Aku tersedak, sedekat apa pun hubungan kami, dan meskipun dia sangat terbuka denganku dengan menceritakan perselingkuhannya dengan beberapa pria, aku menutup rapat satu rahasia padanya.
"Aku bukan malaikat, San. Keinginan untuk itu selalu ada, tapi aku mengalihkan dengan bekerja dan meditasi," tandasku.
"Kau menyiksa diri, Sayang!" sergah Santi, "kau lupa beberapa mahasiswa yang magang di EO kita bisa kau manfaatkan, menopause dini nanti kau kalau sama sekali tidak tersentuh lelaki."
Aku hanya tersenyum pahit 'Kau tidak tahu, San. Aku tak senaif pikiranmu sekarang. Setidaknya sejak kemarin siang.'
Setengah jam kemudian, semua proses perawatanku selesai. Santi masuk ke dalam rumah yang hanya dipisahkan pintu kaca untuk pamit pada Mas Arif, suaminya. Sahabatku ini beralasan akan mengantarkan aku pulang ke rumah yang berjarak empat puluh dua kilo dari Solo.
"Ayo!" ajaknya, "Aku wis pamit ro bojoku, arep nginep omahmu," katanya lagi.
Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Aku tahu, alasan Santi menginap di rumahku hanyalah alat untuk menutupi kepergiaanya dengan Sonny. Aku mengenal, atau lebih tepat dikenalkan pada Sonny tiga tahun lalu. Lelaki beristri itu kemudian menjadi kekasih sahabatku. Aku bukan tidak menyukainya, semua keputusan adalah hak mereka. Meskipun aku tahu, Sonny adalah lelaki pengeretan. Â
"Carilah pacar, Rin! Bukan untuk menikah, aku tahu kau nggak mau terikat pernikahan dengan siapa pun setelah relasimu dengan Rendy berantakan," ujar Santi, "just for having sex!"