Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Perlu Kau Kawini Hayati, Bang!

23 Agustus 2017   14:34 Diperbarui: 27 Agustus 2017   10:50 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah bertembok bata yang belum dilabur rata itu tampak lengang. Hujan yang  baru berhenti sepuluh menit  lalu menyisakan genangan-genangan kecil di halaman. Langit mendung sore ini seakan menggambarkan perasaan Hayati, perempuan perkasa di akhir tigapuluhan tahun itu.

"Anakmu butuh sosok pelindung, Ti!" kata emak setiap Hayati pulang ke kampungnya.

"Tapi Allah belum mempertemukan aku dengan pelindung itu, Mak?" jawab Hayati selalu.

***

Sudah tujuh Hayati menjanda, suaminya pergi dengan perempuan yang lebih muda darinya, meninggalkan tiga anak tanpa nafkah sedikitpun. Hayati benar-benar saat itu, pengabdiannya sebagai istri sama sekali tak dihargai. Yang paling menyakitkan, mertuanya justru menyalahkannya sebagai istri yang tak tahu cara menyenangkan suami. Rasanya Hayati ingin berteriak di depan ibu mertuanya, bagaimana dia memendam semua aib suaminya hanya demi menjaga kehormatan laki-laki, ayah dari anak-anaknya

Bahkan ketika ayah anaknya itu pura-pura lupa kalau perceraian terjadi hanya di antara mereka, dengan tidak pernah memberikan nafkah untuk ketiga anak mereka, Hayati tetap diam. Hingga akhirnya mereka yang menggunjingkannya tahu sendiri kenyataan tanpa dia mengatakan sepatah katapun soal keburukan mantan suaminya itu.

Demi anak juga, Hayati harus meninggalkan mereka  dengan emaknya untuk bekerja ke Semarang, empat jam perjalanan dari kampungnya.

Sebulan sekali baru dia bisa bertemu dengan anak-anaknya, melepaskan rindu sekaligus memberikan sebagian besar gajinya untuk kebutuhan sehari-hari.   Hayati bukan tidak merasakan kesedihan, dia terpaksa menelan semuanya demi menyambung hidup. Seringkali saat menjelang tidur Hayati menangis diam-diam, bukan meratapi nasibnya hanya menyesali apa yang menimpanya.

"Mah, melamun aja dari tadi! Nanti kemasukan jin lho!" Rendy anak sulungnya mengagetkannya.

Hayati tersenyum tipis,"Sudah sholat Bang?"

"Mamah itu lho yang belum sholat! Ayo Mah, keburu habis waktunya." tegur Rendy.

Perempuan itu melirik jam yang terpasang di dinding, dia beringsut ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Rendy menutup jendela yang sedari tadi disandari ibunya, remaja itu menghela nafas panjang setiap mengingat perjuangan ibunya. Berulang kali dia memberi ijin pada ibunya untuk menikah lagi, tapi entah mengapa sepertinya ibunya tidak tertarik menikah lagi.

***

Selepas isya, Hayati masih duduk menonton televisi di ruang tengah. Lebih tepat jika dikatakan televisilah yang menonton dia. Saat makan malam tadi,  kembali emak menanyakan kapan dia akan menikah lagi? Rendy, Sandy dan si bungsu Sonnypun secara kompak mendukung keinginan neneknya. Hayati bingung mau menjawab apa? Bukan tidak mau, bukan pula tidak ada yang melamarnya, sejak setahun lalu dia dekat dengan teman sekantornya yang baru pindah dari Kutai kartanagar.

Sejak dekat dengan Zainudin, dia merasa dunia berubah menjadi ceria. Semangatnya untuk bekerja berlipat ganda, bukan hanya demi gaji dan bonus yang akan dia terima, tapi juga demi bertemu dengan lelaki simpatik itu.

Di kantornya, mereka mulai dijodoh-jodohkan, apalagi status Zainudin yang juga sendiri membuat Hayati punya harapan besar akan hubungan yang terjalin. Zainudinpun tidak segan memberinya hadiah-hadiah, dan sebulan lalu dia melamar Hayati di depan emaknya. Itu sebabnya emak mendesaknya agar segera meresmikan hubungan mereka agar terhindar dari gunjingan tetangga.

Tapi kemaren saat Hayati mengecek akun facebooknya, ada permintaan pesan tertanggal sebulan yang lalu. Ditulis dengan huruf kapital, Mbak aku undang kamu ke Kutai kartanagara, aku akan ajak kamu berkeliling tempat wisata disini, karena rupanya kamu kurang piknik hingga berusaha merebut bapak dari ibu kami?

Hayati terhenyak tanpa bisa berkata apa-apa, hatinya masygul. Dia membalas pesan itu dan mendapatkan kejutan bertubi-tubi. Zainudin yang santun, bukan pria bebas. Dia suami dan bapak dari dua anak, dan belum bercerai dengan resmi karena takut kehilangan fasilitas jaminan kesehatan dan lain-lain dari kantor istrinya. Lalu hubungan ini? Hayati merasa dibodohi, ketulusannya dalam menjalin hubungan dicurangi oleh lelaki itu.

***

"Mah, ada ayah Zainudin datang!" kata Sonny sambil menjilati es krim.

Anak-anaknya sudah terbiasa memanggil Zainudin dengan sebutan ayah. Tiba-tiba hati Hayati terasa perih, bagaimana dia bisa mengatakan sebuah keputusan yang dia ambil? Emak dan anak-anak telanjur berharap banyal dengan hubungan mereka, tapi terbukanya status lelaki bertubuh tegap itu membuatnya ragu. Hayati menemui Zainudin setelah membuatkan kopi untuknya.

"Kamu kok cuti nggak bilang aku Ti?" tanya Zainudin lembut.

"Iya Bang, maafkan aku. Seharian aku merenung, banyak yang kupikirkan, jika aku tetap di kantor, aku takut malah mengacaukan pekerjaan kawan yang lain. Jadi lebih baik aku mengambil cuti." jawab Hayati lirih.

"Apa yang ku pikirkan Ti? Tentang kita? Apa kamu mau kita percepat perkawinan kita? Aku akan membawa orangtuaku kemari agar melamarmu secara resmi!" kata Zainudin seraya mengelus tangan Hayati.

"Kita harus berpikir ulang tentang perkawinan kita Bang! Seperti yang Abang tahu, aku bercerai karena mantan suamiku selingkuh dan meninggalkan anak-anaknya tanpa nafkah. Lalu apakah aku harus menjadi serupa dengan perebut suamiku?"

"Maksudmu apa Ti? Aku nggak paham!"

"Kemaren Dewi anakmu menghubungiku, dia menceritakan kepedihan istrimu juga kesedihannya kau tinggalkan. Kenapa kamu bohong tentang statusmu? Dan bodohnya aku mempercayai setiap ucapanmu?" sesal perempuan itu, dia mengusap airmata yang mengalir di pipinya dengan ujung daster yang dia kenakan.

"Apa? Dewi menghubungimu? Untuk apa?" tanya Zainudin heran.

"Untuk apa Bang? Ya untuk menjelaskan Abang masih punya istri dan dua orang anak, Abang takut bercerai secara sah karena takut kehilangan semua fasilitas dari istri Abang! Kejam kamu Bang! Tidak seharusnya Abang menelantarkan anak-anak Abang dan mencari kesenangan bagi dirimu sendiri!" kata Hayati tersendat.

"Aku tidak bisa menikah denganmu Bang! Abang harus kembali pada anak dan istri Abang! Aku tidak mau disebut perebut suami orang, sangat hina jika itu kulakukan. Aku tidak mau bahagia di atas penderitaan keluargamu. Maaf Bang, batalkan saja rencana perkawinan kita?" tegas Hayati.

Zainudin menatap.Hayati seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya," Lalu bagaimana dengan Emak dan anak-anak, Ti?"

"Mereka urusanku! Tak perlu kau kuatirkan mereka. Tak perlu pula kau kawini Hayati dengan dasar kasihan! Sekarang pulanglah, hubungan kita selesai di sini!"sergah Hayati.

Tanpa menunggu Zainudin beranjak, Hayati melangkah ke dalam. Saat dia menyibakkan tirai pembatas ruang tamu, Hayati melihat emaknya, wajah perempuan tua itu tampak sedih. Hayati memalingkan wajahnya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk menyembunyikan tangis yang dia tahan sedari tadi.

Pandangan perempuan tua mengikuti langkah Hayati sebelum dia menemui Zainudin.

 "Pulanglah, Nak! Hayati sudah memutuskan yang terbaik untuk masa depannya. Dan Emak nggak menghalangi keinginannya!" kata Emak dengan lirih. Dia tak bisa menyembunyikan kesedihan, suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.

***

"Maafkan Emak ya Ti! Karena Emak terus mendesakmu untuk menikah hampir saja kamu terjerumus!" keluh perempuan tua itu sedih.

Hayati tersenyum pahit, "Sudahlah Mak, semua sudah terjadi. Sekarang Hayati mau fokus besarin anak-anak saja Mak. Tanpa suamipun aku masih mampu menafkahi keluarga kita. Ya kan Mak!"

Mereka berpandangan, lama sekali, sesaat kemudian kedua perempuan ibu dan anak itu tertawa terbahak-bahak, menertawakan nasib yang masih nyaman menyertai hidup mereka. Entah sampai kapan?

#poeds 220817

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun