Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kelestarian alam semesta menjadi topik yang hangat dibicarakan beberapa dekade terakhir. Persolan tersebut menjadi isu viral sekaligus menakutkan. Seorang aktivis muda, Greta Thunberg, remaja perempuan yang memenuhi linimassa media sosial belakangan ini menjadi tokoh fenomenal dalam kaitannya dengan persoalan lingkungan hidup.
Greta dikenal sebagai aktivis lingkungan dari Swedia. Ia memimpin aksi protes sekolah atas isu perubahan iklim yang dikenal sebagai Fridays for Future. Saking getolnya protes terhadap kebijakan dan sikap 'mati rasa' penguasa atas persoalan lingkunga hidup, ia akhiirnya dinobatkan sebagai Ambassador of Conscience 2019 oleh Amnesty International pada 16 September 2019.
Akar Persoalan lingkungan Hidup dan Hubungannya Dengan Tanggung Jawab Manusia
Di negara Indonesia, contohnya persoalan tentang sampah hampir tidak pernah usai dibahas. Indonesia boleh bangga dengan banyaknya kelompok sukarelawan pembersih sampah atau kelompok yang peduli dengan lingkungan hidup tetapi disatu sisi juga harus prihatin, karena semakin banyak sukarelawan mengandaikan semakin banyak pula peningkatan jumlah kerusakan lingkunan di negara ini.
Menurut hasil prediksi Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) akan ada timbunan sampah sebesar 71, 3ton pada 2025 di Indonesia.Tingginya timbunan sampah, disebabkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk. Jumlah warga yang semakin meningkat pada suatu daerah akan berdampak pada meningkatnya jumlah kerusakan lingkungan.
Peningkatan jumlah sampah juga dipengaruhi oleh faktor industri, ekonomi, dan konsumsi yang semakin naik. Selain faktor di atas, persoalan lingkungan hidup juga disebabkan oleh sikap pasif dari (sebagian) masyarakat.
Sikap ketidakpedulian atau ketidaksadaran masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan dan krisis lingkungan akan berujung pada peningkatan jumlah kerusakan lingkungan, persoalan ini bisa mendatangkan berbagai jenis penyakit. Sikap kurang bertanggung jawab, seperti membuang sampah disembarang tempat, memang menjadi kendala yang hanya bisa di atasi lewat kesadaran diri sendiri.
BACA JUGA PUISI PRIA ITU
Manusia dan Alam Semesta Bermusuhan?
Sikap egois dan egosentris dapat dijumpai pada banyak suku bangsa dan penganut agama apa pun - manusia pada umumnya. Sikap ini melahirkan dan mengembangkan dua gejala sosial.
Pertama berkembangnya filsafat antroposentrisme, yang selalu menekankan manusia sebagai pusat seluruh ciptaan. Pola pikir ini berdampak pada eksploitatif, manipulaif, dan destruktif terhadap lingkungan.
Persoalan yang muncul berikutnya adalah ketidakpedulian terhadap kelestarian ekologi. Kedua hal ini lahir dari sikap acuh tak acuh manusia yang membuat bumi, sebagai rumah tempat tinggal bersama seluruh ciptaan mengalami kerusakan.
Paradigma berpikir orang dari zaman ke zaman mulai berubah. Manusia dialami sebagai subjek aktif sedangkan alam dinilai sebagai subjek pasif. Sumber-sumber alam dimanfaaatkan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia.
Kemajuan dalam bidang teknologi menunjukan kuasa atas alam, lingkungan. Hingga akhirnya manusia mulai melepaskan diri dari kuasa alam atas diri manusia tetapi menekankan kuasa manusia dalam 'menaklukan' alam semesta.
Puncak pandangan manusia sebagai tokoh sentral dalam alam semesta digemakan dalam filsafat Descartes. Manusia dipandang sebagai realitas mutlak, sebagai dampak dari filsafat modern.
Rene Descartes memiliki andil besar dalam persoalan ini, dimana manusia menjadi pusat tatanan karena kemampuanya untuk berpikir secara rasional -- cogito ergo sum -- konsep dan paradigma inilah yang menjadikan manusia berkuasa dan bertindak semena-mena atas alam.
BACA JUGA SOLIDARITAS: MUSEUM ABADI MERETAS KESENJANGAN
Tanggung Jawab Bersama Sebagai Jalan Rekonsiliasi
Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Hal ini termasuk dampak ulah manusia. Pengelolaan lingkungan yang tidak bertanggungjawab menjadi budaya yang menakutkan.
Tanpa adanya penghargaan dan penghormatan terhadap alam semesta dan ciptaan secara integral, tanda-tanda kehancuran akan semakin mendekat. Munculnya kesadaran ekologis merupakan awal dari hancurnya lingkungan hidup itu sendiri.
Masalah ekologi dan kesadaran moral lingkungan hidup umumnya terkait karena ada kesadaran antara hubungan manusia dan lingkungan hidup. Kesadaran manusia akan lingkungan hidup menjadi jalan menuju usaha untuk membangun kembali relasi dengan lingkungan hidup.
BACA JUGA REVIEW NOVEL PARA CALON PRESIDEN
Menjaga kelestarian lingkungan hidup saat ini, menjadi modal besar kesinambungan kehidupan semua komunitas kehidupan yang tidak saja bermanfaat untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi selanjutnya. Konsep keterkaitan antara lingkungan dan semua makhluk, melihat krisis lingkungan sebagai gejala delusi antroposentris yang membayangkan dunia hanya sebagai sumber daya digunakan manusia.
Gereja paham bahwa manusia dewasa ini sadar bahwa akibat eksploitasi alam yang semena-mena, merusaknya secara semena-mena dan akhirnya atas degradasi ini manusia sendiri yang menjadi korbannya.
Bukan hanya lingkungan jasmani yang terus-menerus menjadi ancaman bagi manusia: pencemaran, sampah, penyakit baru, kekerasan dahsyat yang menghancurkan, melainkan juga berlaku bagi lingkungan hidup insani yang tidak dikuasainya lagi sehingga dalam waktu singkat menciptakan kondisi hidup yang tak tertahankan. Hal ini menjadi masalah sosial berjangkauan luas yang menimpa seluruh umat manusia.
Untuk membangun kembali hubungan ini, selain menawarkan sikap hidup dan cara pandang yang setara antara alam dan manusia, Paus Fransiskus menekankan pertobatan ekologis. Kekayaan spiritual kristiani berawal dari pengalaman personal dan komunalnya, mengajak semua umat kristiani untuk memperbarui kemanusiaan.
Dalam Laudato Si, art 216, Paus menekankan bahwa untuk menumbuhkan semangat melestarikan lingkungan, diperlukan suatu motivasi yang lahir dari spiritualitas, bukan hanya tentang gagasan-gagasan dan ide-ide besar.
Tidak akan mungkin manusia bisa melibatkan diri dalam hal-hal besar hanya dengan doktrin, tanpa mistik yang menggerakkan, atau tanpa 'dorongan batiniah yang mendorong, memotivasi, menyemangati dan memberikan makna kepada kegiatan individu dan komunal kita'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H