Pertama berkembangnya filsafat antroposentrisme, yang selalu menekankan manusia sebagai pusat seluruh ciptaan. Pola pikir ini berdampak pada eksploitatif, manipulaif, dan destruktif terhadap lingkungan.
Persoalan yang muncul berikutnya adalah ketidakpedulian terhadap kelestarian ekologi. Kedua hal ini lahir dari sikap acuh tak acuh manusia yang membuat bumi, sebagai rumah tempat tinggal bersama seluruh ciptaan mengalami kerusakan.
Paradigma berpikir orang dari zaman ke zaman mulai berubah. Manusia dialami sebagai subjek aktif sedangkan alam dinilai sebagai subjek pasif. Sumber-sumber alam dimanfaaatkan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia.
Kemajuan dalam bidang teknologi menunjukan kuasa atas alam, lingkungan. Hingga akhirnya manusia mulai melepaskan diri dari kuasa alam atas diri manusia tetapi menekankan kuasa manusia dalam 'menaklukan' alam semesta.
Puncak pandangan manusia sebagai tokoh sentral dalam alam semesta digemakan dalam filsafat Descartes. Manusia dipandang sebagai realitas mutlak, sebagai dampak dari filsafat modern.
Rene Descartes memiliki andil besar dalam persoalan ini, dimana manusia menjadi pusat tatanan karena kemampuanya untuk berpikir secara rasional -- cogito ergo sum -- konsep dan paradigma inilah yang menjadikan manusia berkuasa dan bertindak semena-mena atas alam.
BACA JUGA SOLIDARITAS: MUSEUM ABADI MERETAS KESENJANGAN
Tanggung Jawab Bersama Sebagai Jalan Rekonsiliasi
Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Hal ini termasuk dampak ulah manusia. Pengelolaan lingkungan yang tidak bertanggungjawab menjadi budaya yang menakutkan.
Tanpa adanya penghargaan dan penghormatan terhadap alam semesta dan ciptaan secara integral, tanda-tanda kehancuran akan semakin mendekat. Munculnya kesadaran ekologis merupakan awal dari hancurnya lingkungan hidup itu sendiri.