Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Curhat Lily: Dari Senja Hingga Malam di Nekropolis

9 September 2021   23:00 Diperbarui: 9 September 2021   23:03 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Fransiskus Sardi, Senja di Pantai Oepaha, NTT Juni 2018

Di beranda rumah, saya duduk merenung sambil menatap senja. Yaa… senja… Senja akan selalu indah, kata pacarku kala kami bersua di ujung dermaga kala itu. 

Saya mengenang kembali semua kisah-kisah kami menikmati indahnya semua pantai di kotaku setiap akhir pekan. Pantai dan senja selalu menjadi tempat favorite kami untuk berbagi suka dan kepenatan hidup. 

Kami selalu berjuang menghilangkan semua kelelahan selama kuliah sepekan di alam indah itu. Biasanya kami selalu mengunjungi pantai di setiap petang, hanya untuk menyaksikan indahnya sang mentari yang perlahan pergi di sore hari. 

Biasanya saat-saat seperti itu, kami selalu beradu pandang di bawah saksi bisu alam yang dihiasi senja. 

Kekasihku berceloteh banyak tentang senja, dan saya hampir tidak bisa mengingat semua syair-syair indahnya tentang senja. Namun, ada satu hal yang selalu membekas di hatiku.

Dia berkali-kali mengatakan bahwa senja yang indah selalu ada setiap petang, entah bagaimana dan apapun keadaannya. Di saat hujan pun senja masih indah tersenyum dari balik awan tebal. 

Awalnya aku berpikir itu biasa-biasa saja, karena senja memang akan selalu ada, walaupun dia tidak pernah bertahan lama memancarkan keindahannya. 

Aku baru memahami betapa dalam dan bermakna ucapannya itu setelah senja itu benar-benar pergi dan tidak pernah bisa kami tatap lagi berdua di pantai favorite kami. 

Awan tebal selalu ada setiap hari, dan aku tidak pernah bisa menjadi saksi kepergiannya. Dia pergi dan beralih selamanya oleh kelamnya gelap malam, dan aku membisu kikuk di balkon ini sendiri sepanjang hari.

Entah mengapa, hari ini Sang Khalik mengizinkan aku untuk kembali menatap senja, tapi dari bubungan rumahku. Lama dia pergi, kini ia kembali lagi mewarnai langit sore. 

Dia mempesona, indah dan memikat hati, tapi sayangnya saya tak bisa beradu pandang lagi bersama kekasihku, tidak bisa ke pantai lagi. Saya terpukat dalam ruang gerak di rumah saja. 

Saya boleh kemana-mana asalkan hanya dalam rumah. Dari senja kembali ke senja saya hanya bisa berada di rumah. Kuliah yang biasanya menjadi tempatku curi-curi pandang dengan dosen tampanku kini di batasi, lewat online saja. Saya harus menyelesaikan semua tugasnya dari rumah saja. 

Tidak ada waktu untuk nongkrong bersama sahabat di kantin kampus. Semuanya berubah semenjak Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan keadaan dunia yang darurat. 

Bermula dari Wuhan, sebuah kota kecil di negeri tetangga. Makhluk renik yang namanya tak asing lagi di telinga penduduk bumi saat ini. Dia tak kasatmata, tetapi membahayakan. 

Banyak jiwa berjatuhan karenanya, keganasan senjata nuklir pun mungkin tidak sebanding dengan keganasannya. Dia membantai banyak penduduk bumi. Hingga saat ini pun namanya selalu menghiasi media masa baik yang cetak maupun online. Corona menjadi kata yang paling banyak digoogling oleh warganet. 

Setiap kali mengetik kata Covid-19, Corona, Pandemic Corona, akan muncul ribuan bahkan jutaan berita terkaitnya, dari kisah yang sembuh hingga kisah kematian, dari konspirasi hingga konsensus masyarakt global untuk memberhentikan penyebaran virus ini. 

Tidak luput juga, ada begitu banyak kabar bohong yang beredaran. Saya kadang bergeming merinding ketakutan membaca jumlah korban positif yang setiap hari selalu meningkat. 

Dari berita-berita itu, aku selalu berandai-andai bahwa senja yang indah dan menawan kini memang telah lenyap dan tak akan pernah kembali lagi. 

Senja ditengah merebaknya wabah corona seperti humberger beraroma kotoran kucing, indah bentuknya tapi kadang menjijikan dan menakutkan, menarik untuk dilihat tapi mematikan jika dia menyerang tubuh. Corona…ahh…corona!

Setelah saya diam membisu menatap senja itu, dan terpesona oleh sinar rembulan, yang diwarnai berlaksa-laksa bintang. Malam, kini menjadi hal kedua yang saya sukai setelah senja. Bukan malam yang gelap gulita, tetapi malam yang diwarnai oleh sang rembulan, malam yang penuh kedamaian dan ketenagan. 

Bukan pula malam yang dipadati oleh hiruk pikuknya kendaraan bermotor, tetapi malam yang dipenuhi bunyian dan sahutan binatang malam. 

Dua jam saya duduk membisu di beranda itu hanya untuk mendengarkan suara jangkrik. Saya baru menyadari ternyata malam itu berisik oleh dengungan dan kindung merdu suara malam. Saya tidak ingin melewati setiap malam ini tanpa makna.

Lama saya termangu murung sambil menatap langit yang hitam dengan hamparan bintang berkelap-kelip, terang berbinar jernih. Tak ada kepedihan tampak di sana. 

Semua tampak ceria menyinari bumi. Ketenangan dan kesyahduan langit malam berbanding terbalik dengan perasaan yang kini saya rasakan. 

Rasa cemas menggoroti perasaanku, membentur dinding hatiku. Tak terasa air mataku pun mengalir di sela-sela pipiku. Perasaan takut menghantuiku, ‘akankah aktivitas dunia terus berhenti?’ batinku. Apa yang telah melanda bumi ini, dunia ini mati. Bukan hanya manusia yang mati aktivitas manusia juga ikutan mati. 

Dunia seperti bukan lagi tempat yang aman untuk dihuni. Manusia di bumi pun seketika bungkam tanpa bisa melakukan apapun, kendaraan di jalanan mati suri, seolah dunia sudah tak bernyawa. Adakah jawaban mengapa ini bisa terjadi? Apakah ini kehendak Sang Kuasa atas keangkuhan, keegoisan, kesemena-menaan manusia? Ataukah ini ujian dari alam dan Sang Kuasa, aku teringat akan syair lagu sang musisi legend Ebiet G. Ade ‘perlu bertanya diri’ sebelum melemparkan semua ini pada Tuhan dan sesama. 

Saya yang sok menguasai seluruh alam tanpa tahu bersyukur dan menyadari sepenuhnya bahwa Tuhanlah yang menciptakannya. Tuhan, kalau seandainya kau ijinkan, tolong jangan rebut kebahagianku untuk menikmati indahnya senja, alam dan malam. Bawalah makhluk renik ini pergi. Saya rindu keramaian, bukan maya, tapi nyata.

Kasus yang melanda pertiwi ini mematikan, virus telah menjalar kepelosok-pelosok seluruh dunia. Dari epidemi menjadi pandemi, semuanya terancam krisis. Hari demi hari kian marak. Korban berjatuhan di sana-sini, tenaga medis kewalahan menangani, bahkan sampai mengorbankan nyawa dan sanak keluarganya untuk mengabdi demi penyembuhan. Sampai saat ini belum ada kepastian kapan akan berakhir. Hal itu membuat manusia dihantui rasa takut yang sangat dalam.

Semua kegiatan terhenti. Anjuran pemerintah mengharuskan segala kegiatan seperti berdoa, belajar, dan bekerja di rumah saja, bahkan aku yang kini adalah seorang mahasiswi semester enam harus melakukan proses perkuliahan online. Betapa membosankan bukan? Tugas begitu banyak, ditambah kuota internet yang menipis, semakin menambah penderitaanku. Aah Tuhan kapan ini semua akan berakhir? Adakah kesempatan tobat yang akan Engkau berikan pada kami. Saya hanya berharap mukzizat Tuhan akan segera menjawab semua keresahan yang tak ada ujungnya.

Saya sadar telah menghabiskan waktu berjam-jam di bubungan ini hanya berperang melawan corona dalam angan dan imajinasi, seandainya dia kasatmata, sudah saya bawa dia ke dalam tahanan. Dari petang yang ditemani senja hingga malam bertaburan bintang, aku membisu dalam kerinduan. Rindu untuk bersenda gurau dengan mereka yang kadang terlihat konyol, tapi menyenangkan. Rindu kesembuhan Pertiwiku, Indonesia. Rindu menghabiskan waktu di kampus. Rindu… namanya juga rindu..! Rindu dalam jebakan kemungkinan. Rindu membeku dan membisu di kota mati (nekropolis).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun