Mohon tunggu...
Sarda Safitri
Sarda Safitri Mohon Tunggu... Dosen - Legally Your Business

Business Law

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kawasan Perbatasan Darurat Impor Ilegal, Kemana Kedaulatan Ekonomi?

26 Januari 2025   05:40 Diperbarui: 27 Januari 2025   06:31 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber Ilustrasi: https://www.123rf.com/photo_72363894_3d-illustration-of-illegal-import-title-on-legal-document.html

Proses panjang yang dimulai dari perencanaan pemisahan wilayah hingga bermuara pada ketetapan undang-undang, menoreh sejarah perjalanan pemekaran Provinsi Kalimantan Timur. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, maka Provinsi Kalimantan Utara resmi terbentuk menjadi provinsi ke-34 di Indonesia. Letak geografis Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia memposisikan provinsi ini sebagai garda terdepan di kawasan perbatasan, maka sudah selayaknya pertahanan dan keamanan di Provinsi Kalimantan Utara harus semakin diperkuat, diawasi secara lebih maksimal dan menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah.  

 

Kawasan perbatasan merupakan kawasan yang strategis karena merupakan titik tumbuh bagi perekonomian regional maupun nasional. Melalui kawasan ini, aktivitas perdagangan negara dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan murah yang pada gilirannya akan mendorong naiknya kegiatan produksi masyarakat, pendapatan masyarakat, dan berujung pada kesejahteraan masyarakat. Melihat peluang dan segala potensi yang terkandung di dalamnya, maka di masa mendatang kawasan perbatasan negara dimungkinkan menjadi sebuah kawasan yang dapat mengembangkan teknologi, kawasan pariwisata, kawasan agroindustri, kawasan perdagangan dan berbagai bentuk kawasan potensial lainnya yang semua itu dapat mendukung pendayagunaan potensi sumber daya secara optimal.

 

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia, wilayah perairan Indonesia adalah wilayah kedaulatan negara yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Salah satu daerah di Provinsi Kalimantan Utara yang perairan lautnya berdekatan dengan perbatasan Tawau (Malaysia) adalah Kota Tarakan. Kota ini merupakan tumpuan pergerakan ekonomi di Provinsi Kalimantan Utara dan menjadi lokasi transit karena didukung oleh ketersediaan aksesibilitas melalui jalur udara dan laut. 

 

Meskipun jarak tempuh dari Kota Tarakan menuju daerah-daerah produsen yang dapat memproduksi kebutuhan sandang dan pangan di Indonesia sangat jauh, namun Kota Tarakan tetap menunjukkan eksistensinya dalam aspek perekonomian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 tercatat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor perdagangan meningkat sebesar 7,18%. Adapun badan-badan usaha yang telah berstandar hukum terkonfirmasi tahun 2024 sebanyak 323 Perseroan Terbatas (PT), 307 CV atau Firma dan 5.316 Usaha Perseorangan.

 

Fenomena peningkatan jenis dan volume barang impor yang masuk ke dalam suatu negara memang merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini didasari pijakan era globalisasi dan modernitas, sehingga kebutuhan masyarakat akan barang semakin kompleks dan negara kesulitan untuk melakukan produksi. Dengan kata lain, tindakan untuk mengimpor barang juga memberikan kebermanfaatan bagi para konsumen dalam negeri. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, keberadaan barang impor dapat menimbulkan dampak merugikan, seperti menciptakan persaingan bagi industri dalam negeri dan seringkali terjadi persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, keberadaan barang impor dapat menambah pengangguran karena dengan mengimpor banyak barang dari luar negeri maka negara tidak melakukan produksi, sehingga lenyap juga potensi untuk terbukanya lapangan pekerjaan. Dampak negatif selanjutnya ialah perilaku konsumerisme, dimana kondisi para konsumen yang begitu berlebihan dalam mengkonsumsi barang-barang dari luar negeri sehingga tidak lagi melirik produk buatan negeri sendiri.

 

Praktik importasi merupakan sebuah keniscayaan yang selalu ada di kawasan perbatasan, tidak luput pula Kota Tarakan yang dekat dengan Malaysia. Kondisi geografis ini memudahkan masyarakat setempat untuk memperoleh barang yang dibutuhkan karena nyaris semua kebutuhan tidak mampu diproduksi sendiri oleh Kota Tarakan yang memang pendapatan utama daerahnya mengandalkan sektor jasa. Produsen dan pemasok barang dalam negeri yang dimaksud biasanya berasal dari Ibukota Negara, Pulau Jawa dan Sulawesi. Namun barang-barang yang akan diperoleh harus melewati rantai pasok yang panjang. Diperlukan beberapa hari perjalanan laut, bahkan ada yang sampai berminggu-minggu. Sehingga keadaan demikian, tidak jarang membuat barang yang sampai ke Kota Tarakan seperti sayuran atau buah-buahan sudah tidak lagi segar bahkan dalam kondisi yang telah membusuk. Selain itu, durasi perjalanan yang memakan waktu yang begitu lama, menjadikan masyarakat kesulitan memperoleh barang secara cepat apalagi disaat benar-benar dalam kondisi membutuhkan.

 

Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa barang-barang dari Malaysia sangat diminati bahkan selalu dicari keberadaannya oleh mayoritas konsumen di Kota Tarakan. Jarak yang relatif dekat, produk yang bervariasi dan tidak jarang produk impor Malaysia juga didatangkan dengan kualitas yang lebih unggul dibanding produk buatan dalam negeri. Faktor-faktor tersebut yang menjadi daya tarik bagi para konsumen di Kota Tarakan sehingga menjatuhkan pilihan untuk membeli produk impor Malaysia. Akan tetapi kemudahan tersebut telah disalahgunakan pemanfaatannya oleh oknum-oknum pelaku usaha yang melakukan praktik importasi illegal. Kota Tarakan menjadi lahan basah untuk mengedarkan barang-barang impor hasil selundupan dikarenakan letak geografisnya yang mendukung terbentuknya banyak jalur-jalur laut illegal dan hingga saat ini pengawasannya sangat sukar dilakukan.

 

Kebanyakan dari pelaku usaha melakukan tindak penyeludupan barang impor melalui jalur laut untuk selanjutnya dipasarkan ke Kota Tarakan. Meneliti perundang-undangan, Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1967 memuat arti Penyelundupan sebagai delik yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor), atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke Indonesia (impor).

 

Ada 2 jenis penyelundupan, yaitu Penyelundupan fisik dan Penyelundupan administrasi. Penyelundupan fisik adalah setiap kegiatan memasukkan atau mengeluarkan barang (ke/dari Indonesia tanpa dokumen). Sementara itu, penyelundupan administrasi adalah setiap kegiatan memasukkan atau mengeluarkan barang yang ada dokumennya tetapi tidak sesuai jumlah/jenis atau harga barang yang ada di dalamnya. Jika barang-barang tersebut masih di daerah pabean, dikategorikan sebagai penyelundupa administrasi, karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau harga barang yang dilaporkan, dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara utuh kewajiban-kewajiban membayar. Tetapi jika telah ada di pelabuhan, maka dikategorikan sebagai penyelundupan fisik. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dalam Pasal 1 Ayat 13 yang dimaksud dengan impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean yang disusul Pasal 2 bahwa barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.

 

Sedangkan yang dimaksud barang impor illegal merupakan barang yang dimasukkan ke dalam negara tanpa prosedur kepabeanan yang resmi atau dengan tindakan melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana aturan terkait importasi diberlakukan. Barang impor illegal dapat dipastikan tidak mendapat pemeriksaan, tidak membayar pajak ke negara (bea masuk), bahkan kerapkali membahayakan karena tidak memiliki standar keamanan serta jaminan mutu yang telah tetapkan Indonesia.

 

Meski telah dengan tegas aturan hukum menyatakan ketidakabsahan dari tindak pelaku usaha yang melakukan praktik importasi illegal namun kasus demi kasus terus saja bergulir. Kasus perdagangan barang impor khususnya pakaian bekas, olahan pangan, kosmetik bahkan obat-obatan yang berasal dari Malaysia masih menjadi permasalahan yang terus berlangsung di Kota Tarakan. Wilayah perairan Kota Tarakan memang membuka potensi perekonomian internasional yang sangat besar, namun potensi tersebut tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran hukum yang memadai.

 

Hal ini terbukti dengan semakin menjamurnya kasus-kasus impor illegal yang berhasil diungkap dan disebarluaskan di media massa. Diantaranya pada tanggal 22 Desember 2023, Badan Penanggulangan Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap bahwa Kota Tarakan masuk ke dalam kategori 5 besar wilayah temuan produk impor illegal tanpa izin edar (TIE). Terdapat 4.050 produk impor illegal jenis makanan ringan ekstrudat dari Malaysia yang bernilai ekonomis Rp.186.134.000, sebagian besar ditemukan di sarana-sarana retail, toko dan distributor.

 

Pada tanggal 27 Desember 2024, BPOM kembali menguak sebanyak 7.166 produk pangan olahan Malaysia yang dijual bebas di pasaran tanpa izin edar dengan nilai ekonomis mencapai Rp. 236.000.000. Produk tersebut kebanyakan telah dikemas menjadi hampers, dan sisanya lagi dipasarkan di tempat-tempat strategis Kota Tarakan. Sepanjang periode 2023 hingga 2024, BPOM juga menemukan 55 jenis produk kosmetik illegal asal Malaysia yang mengandung bahan berbahaya dan dipastikan tidak memiliki izin edar.

 

Tidak hanya impor illegal jenis pangan, petugas Bea Cukai Tarakan juga berhasil mengamankan upaya penyelundupan pakaian bekas yang tiba di Pelabuhan Malundung Kota Tarakan pada tanggal 20 September 2023. Ribuan pakaian bekas impor illegal tersebut ditemukan di dalam 17 kontainer yang berjumlah 1.808 ball press. Semua temuan itu berasal dari Malaysia diselundupkan ke Indonesia dengan cara membawanya melalui perairan Sungai Nyamuk menggunakan kapal jungkong yang kemudian dipindahkan ke speed boat celebes jaya di atas perairan Indonesia dan akhirnya berlabuh di Pelabuhan Malundung Kota Tarakan untuk nantinya disimpan di Gudang milik pelaku. Setelah dilakukan penggeledahan lanjutan, total temuan sebanyak 1.979 ball press pakaian bekas dengan nilai Rp. 315.495.752.

 

Pemerintah telah melarang melakukan impor pakaian bekas sejak tanggal 18 Januari 1982, tetapi sampai saat ini masih banyak oknum yang memasukkan barang ilegal itu ke dalam negeri. Apabila importasi terus dilakukan, hal ini akan berdampak pada industri pakaian lokal. Selanjutnya, mengenai hal larangan memperjualbelikan pakaian bekas impor diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.[11] Aturan ini mengatur bahwa "Pelaku Usaha yang memperdagangkan barang di dalam negeri yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada pasal 57 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 miliar.   

 

Peredaran barang impor illegal di Kota Tarakan semakin tidak terkendali, bahkan fenomena yang tidak asing lagi bagi warga sekitar Kota Tarakan meilihat secara terang-terangan produk impor Malaysia tanpa izin edar diperjualbelikan pelaku usaha tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum atas tindakan tersebut. Lokasi penjualan tersebar di seluruh Kota Tarakan, mulai dari pasar tradisional, toko swalayan bahkan kios-kios kecil, namun kebanyakan terpusat di "pasar batu" dan yang lebih mirisnya lagi produk impor illegal ini seakan telah dinormalisasi sebagai oleh-oleh khas yang berasal dari Kota Tarakan.

 

Pelaku usaha sepatutnya menyadari bahwa tindakan untuk memperjualbelikan produk impor illegal, baik itu yang tidak melalui prosedur kepabeanan yang sah maupun tidak memiliki izin edar merupakan tindak kejahatan yang sangat serius. Dapat memberi dampak buruk terhadap kedaulatan ekonomi, terlebih Kota Tarakan yang berada di Kawasan perbatasan. Tidak hanya menggerus nasionalisme masyarakat, namun sebagai konsumen, masyarakat dapat berpotensi mendapat kerugian. Meskipun produk impor illegal biasanya lebih murah dibanding produk impor yang berstatus resmi, akan tetapi tidak ada jaminan mutu dan juga standar keamanan serta kesehatannya. Selain itu, penerimaan negara berupa pajak yang didapat dari pembayaran bea masuk barang impor menjadi tidak tersalurkan, akibatnya dapat menghambat pembangunan wilayah perbatasan dan kesejahteraan negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun