Mohon tunggu...
Sarasvati Tunggadewi
Sarasvati Tunggadewi Mohon Tunggu... Novelis - novelis

Menyukai hobi traveling wisata alam, suka literasi, mengarang cerita fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Jangan Biarkan Jemuran di Luar

31 Juli 2024   15:36 Diperbarui: 31 Juli 2024   15:40 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JANGAN BIARKAN JEMURAN DI LUAR

#Cerbung

"Ayo, Nduk, sudah mau surup. Jemurannya diangkat, kering ngga kering, bawa masuk! Keburu gelap nanti." 

Langit di bagian barat sudah tampak kemerahan. Di ufuk barat, matahari sudah hampir terbenam. Tanda tiba saatnya sandyakala.

Sembari terbatuk-batuk, seorang wanita tua berseru pada anak perempuannya. Masih berada di dalam kamar, di atas ranjang kayu tua miliknya. Sudah seminggu ini dia terbaring sakit tak berdaya.

"Asih ...." ulang wanita tua itu, sebab lama tak mendapatkan respon dari anaknya.

"Iya, iya. Cerewet banget sih." Asih menggerutu pada sang ibu. Turun dari ranjangnya, menghentakkan kaki, merasa sebal. Karena kesenangannya bermain ponsel terganggu.

Benda canggih yang baru dibelikan sang bapak sebulan lalu itu, tak juga Asih letakkan. Matanya tak bisa lepas. Sembari berjalan keluar, dia asyik menekuri layar. Berselancar di sosial media, memperhatikan foto-foto dan berbalas pesan dengan lawan jenisnya.

[Kirim foto dong, Cantik.]

Asih tersenyum membaca pesan dari orang yang belum lama dikenalnya lewat sosial media. Salah tingkah, sampai melupakan pesan dari ibunya. Dia berjongkok di depan pintu samping rumahnya. Jarinya lincah menari di atas layar ponselnya. Mengetik balasan untuk orang yang belum dia kenal secara nyata.

[Malu, ah.] 

[Malu kenapa? Kan yang lihat cuma saya.]

[Aku nggak cantik.]

[Kata siapa nggak cantik? Itu foto profil kamu, dari samping saja sudah kelihatan cantik, kok.]

Kali ini Asih tak langsung menjawab. Debaran jantungnya begitu keranjingan. Meletup-letup seperti air nirah kelapa yang sudah dimasak dalam waktu yang cukup lama.

Ini memang bukan pertama kalinya dia dipuji cantik oleh lawan jenisnya. Parasnya yang menawan khas gadis desa memang banyak mengundang kagum mata. Bahkan banyak gadis tetangga yang iri padanya.

Namun, entah kenapa kali ini rasanya begitu berbeda. Asih mendapatkan sensasi lain dalam dirinya. Kata-kata dari pemuda yang belum pernah ia temui itu, dengan mudah membuatnya terlena. Hanya membaca pesan darinya, jantung Asih berdebar merasakan cinta.

[Nggak boleh, ya?] 

Pemuda itu kembali mengirimi Asih sebuah pesan. Meski pesan yang sebelumnya, belum menerima jawaban.

[Nggak!] balas Asih cepat. 

Gadis berlesung pipi itu tidak mau terkesan mudah menerima. Selama ini ada banyak pemuda yang mengejarnya. Egonya sebagai seorang kembang desa sedang dipertaruhkan.

[Duh, padahal aku pengin kenalan niatnya buat serius loh, Dek, sama kamu. Nggak tahu, rasanya nyaman aja ngobrol sama kamu. Kayaknya aku jatuh cinta sama kamu, Dek. Lihat wajah kamu di foto, meski cuma dari samping saja sudah membuat aku berdebar-debar.]

[Boleh nggak sih, aku minta alamat rumahmu? Pengin main, ketemu sama bapak ibu. Pengin minta anaknya buat jadi istriku.]

Dua pesan beruntun dari pemuda itu semakin membuat Asih salah tingkah. Gadis itu sampai menggigit kuku jemarinya. Gerogi. Tak tahu harus memberi jawaban apa.

Tik-tik-tik!

Suara rintik hujan yang menimpa atap genting sedikit mengalihkan perhatian Asih. Dia teringat pesan ibunya. Melihat ke arah tali tambang di samping rumah. Baju-bajunya masih tersampir rapi di sana.

"Duh, bales apa ini? Keburu hujan." Gadis bertubuh mungil itu menggerutu. Satu sisi, dia begitu menginginkan pria itu. Tak ingin pemuda itu pergi. Tapi, sisi lainnya dia juga tak mau merendahkan harga diri. Dengan mudahnya menyetujui.

"Ah, kasih saja kali, ya? Siapa tahu dia jodohku? Aku juga kan pengin kaya yang lainnya. Menikah, punya anak, punya keluarga kecil yang bahagia."

Berburu dengan waktu, Asih akhirnya mengambil keputusan singkat. Dia mengetik alamat rumahnya, kemudian lekas mengirimkan pada pemuda yang belakangan ini dikaguminya.

Byurrr!

Berbarengan dengan terkirimnya pesan. Hujan turun dengan begitu lebatnya.

Jemuran Asih basah kuyup. Gadis itu hanya terbengong. Dia menyorotkan lampu ponselnya ke arah baju-baju yang baru tadi pagi dicuci. 

Titik-titik air yang berjatuhan dari langit, membuat kain-kain itu mengeluarkan busa. Asih tidak bersih waktu membilasnya.

"Ah, biarin lah. Sekalian bilas alami, biar makin bersih."

Gadis berambut bergelombang itu menanggapi santai. Semenjak ibunya sakit, pekerjaan rumah tangga beralih padanya. Tumpukan pakaian milik adik, ibu serta dirinya sendiri, tadi pagi cukup menguras tenaga. Membuat Asih mencuci ala kadarnya.

"Nduk, jemurannya sudah dibawa masuk semua!" Suara ibunya teredam suara hujan. Masih berbaring, berteriak dari dalam kamar.

"Sampun, Bu." Gadis itu menjawab bohong. Sebab dia tahu kondisi ibunya terlalu lemah untuk mengecek jemuran di luar.

Berlalu santai, Asih kembali ke kamar. Menutup pintu rapat seolah perintah ibunya sudah ia lakukan. Gadis itu lupa dengan pesan penting dari ibunya. Meski pakaian yang dijemur tidak kering pun, Warti--sang Ibu menyuruh tetap mengangkatnya. Simpan di dalam rumah!

Kecanggihan teknologi kadang memang membuat terlena. Bahkan membutakan manusia. 

Asih kembali asyik memainkan ponselnya. Kembali berbalas pesan dengan pemuda di dunia maya. Hingga larut malam, sampai matanya terasa lelah. Hingga kantuk datang menyerang. Lelap, hilang kesadaran.

*******

Hujan sudah reda. Meninggalkan genangan air di jalan becek serta hawa dingin. 

Dari pada berkeliaran di luar rumah. Orang-orang lebih memilih meringkuk di atas ranjang, bersembunyi di balik selimut untuk mencari kehangatan.

Akan tetapi, itu tidak berlaku pada orang yang punya kemauan. Seorang pria bertubuh kurus sedang mengayuh sepeda di jalan becek dipenuhi genangan air. 

Hawa dingin sama sekali tak menyurutkan niatnya. Tubuhnya justru terasa gerah saking ia semangat mengayuh sepeda. 

Bajunya basah oleh keringat dan bercampur cipratan air saat roda sepedanya melewati genangan.

Pemuda itu tak ingin kehilangan momen. Sepi dan memang sedang tersedia sesuatu yang ia cari.

Pemuda berkulit gelap itu menghentikan kayuhannya ketika sampai di rumah yang ia tuju. Sepeda tuanya ia parkirkan di rumpun pohon pisang di pojokan rumah. 

Dia mendekati sebuah rumah, dari bagian belakang. Sengaja ia lakukan karena takut aksinya malam ini ketahuan.

Berjalan pelan, pemuda itu sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Alas kakinya sengaja dilepas. Takut menimbulkan suara kecipak basah. Lalu, dia berhenti di bawah tali jemuran. 

Dalam suasana minim cahaya, matanya jeli memandangi satu per satu baju yang tergantung di tali tambang. Memilah dan memilih agar tak salah sasaran. 

Pandangannya kemudian berhenti pada sebuah kain kecil berbentuk segitiga. Pemuda itu membuka penjepit lalu mengambilnya. Dia remas kain itu, lalu dibawa ke depan hidungnya. Dia menghirup dalam, menikmati aromanya. Detik itu pula, bibirnya menyeringai lebar. 

Bersambung ....

Cerita ini sudah tamat di aplikasi KBM App. Totalnya ada 35 bab.

Judul: Jangan Biarkan Jemuran di Luar

Penulis: Sarasvati Tunggadewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun