[Boleh nggak sih, aku minta alamat rumahmu? Pengin main, ketemu sama bapak ibu. Pengin minta anaknya buat jadi istriku.]
Dua pesan beruntun dari pemuda itu semakin membuat Asih salah tingkah. Gadis itu sampai menggigit kuku jemarinya. Gerogi. Tak tahu harus memberi jawaban apa.
Tik-tik-tik!
Suara rintik hujan yang menimpa atap genting sedikit mengalihkan perhatian Asih. Dia teringat pesan ibunya. Melihat ke arah tali tambang di samping rumah. Baju-bajunya masih tersampir rapi di sana.
"Duh, bales apa ini? Keburu hujan." Gadis bertubuh mungil itu menggerutu. Satu sisi, dia begitu menginginkan pria itu. Tak ingin pemuda itu pergi. Tapi, sisi lainnya dia juga tak mau merendahkan harga diri. Dengan mudahnya menyetujui.
"Ah, kasih saja kali, ya? Siapa tahu dia jodohku? Aku juga kan pengin kaya yang lainnya. Menikah, punya anak, punya keluarga kecil yang bahagia."
Berburu dengan waktu, Asih akhirnya mengambil keputusan singkat. Dia mengetik alamat rumahnya, kemudian lekas mengirimkan pada pemuda yang belakangan ini dikaguminya.
Byurrr!
Berbarengan dengan terkirimnya pesan. Hujan turun dengan begitu lebatnya.
Jemuran Asih basah kuyup. Gadis itu hanya terbengong. Dia menyorotkan lampu ponselnya ke arah baju-baju yang baru tadi pagi dicuci.Â
Titik-titik air yang berjatuhan dari langit, membuat kain-kain itu mengeluarkan busa. Asih tidak bersih waktu membilasnya.