Mohon tunggu...
Saragih alam
Saragih alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Disela-sela liburan

Telah memperoleh S-1 Filsafat di Fakultas Filsafat Santo Thomas Medan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Seksualitas Buruk, Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia yang Berseksual?

4 April 2022   10:41 Diperbarui: 4 April 2022   11:36 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelecehan seksual merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Orang yang merampas hak asasi orang lain adalah orang yang tidak bermoral. Orang yang tidak dapat mengendalikan dorongan seksualnya tidak menjadi lebih baik daripada "hewan". Ajing akan segera melampiaskan nafsunya ketika melihat betina sedang subur. Ia tidak perduli, tidak pernah menimbang, tidak pernah menahan, tidak pernah menunda, dll. Sedangkan kita adalah manusia yang berakal budi yang mampu menimbang, menahan, menunda, dan mengarahkan dorongan seksualnya.

Cinta tanpa keadilan kiranya bukan cinta yang sesungguhnya. Ada prinsip kesamaan, otonomi, hormat, komitmen, dan kebebasan. Seorang laki-laki yang melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap peremuan menempatkan status dirinya berada di atas perempuan. Laki-laki berpikir bahwa mereka berkuasa atas perempuan dan tugas perempuan adalah melayani laki-laki. Konsep yang salah ini membawa pada praktek yang salah pula. Pelecehan seksual  melanggar keadilan, kebebasan, dan cinta sejati.

1. Apa Itu Seksualitas?

Sebagian diantara kita memahami seksualitas secara sempit. Seksualitas tidak dapat direduksi hanya pada seks dan dorongan nafsu manusia. Tidak heran jika banyak orang setiap kali mendengar kata seksualitas, pikiran selalu terarah kepada hubungan intim dan lekak lekuk tubuh yang seksi. Padahal seksualitas memiliki makna yang jauh lebih luas.

Seksualitas, tidak hanya terbatas pada seks, tetapi terkait dengan seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Manusia yang utuh adalah manusia yang memiliki perasaan seksualitas. Seksualitas menyangkut penampilan diri; perasaan aman; perasaan bangga terhadap diri sendiri;  penerimaan diri yang utuh; relasi dengan Allah, sesama, dunia, dan alam ciptaan lainnya.

2. Seksualitas Menurut Para Ahli

James Nelson menjelaskan seksualitas sebagai keberadaan kita sebagai laki-lak dan perempuan. Dengan demikian, di dalam seksualitas termaktub juga jenis kelamin dan bentuk tubuh; kelembutan; keindahan; kekuatan; hobi; kesenangan; cita-cita. Sedangkan Rolheiser memahami seksualitas sebagai "energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci, yang diberikan oleh Tuhan dan dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong orang untuk mengatasi ketidaklengkapan, menuju kesatuan yang utuh.

Seksualitas adalah energi yang "terberi" dalam diri manusia, yang mendorong kita untuk dapat mencintai; memperhatikan; berkorban; bergembira; berkomunikasi; membangun persahabatan dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan.

Seksualitas itu bagaikan suatu api yang senantiasa membara, suatu energi hidup. Seksualias mendorong seorang imam mendengar dengan baik isi curhat umatnya. Atau seorang pelukis yang sungguh menikmati dan mengagumi hasil lukisannya. Seksualitas itu memampukan kita untuk mencintai dan dicintai orang lain secara mendalam.  Hal itu senada dengan pernyataan Barbara Fiand. Ia mengatakan bahwa selibat sebagai "Cara kita mencintai dengan dicintai."

3. Perkembangan Psikoseksual

Seperti halnya umur, psikoseksual juga memiliki tahap perkembangan. Kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh perkembangan psikoseksualnya. Setiap tahap memiliki ciri khas dan kecenderungan masing-masing. Pribadi yang sehat dan utuh adalah mereka yang melewati setiap tahap dengan baik. Akan timbul ganguan atau kecenderungan yang kurang baik dimasa depan jika setiap tahap tersebut tidak dilewati dengan baik.

4. Dimensi Seksualitas

Seksualitas itu positif sejauh hal itu tidak didiskreditkan hanya pada satu makna. Seksualitas terdiri dari enam dimensi yakni dimensi biologis, kognitif, emosi, sosial, moral, dan spritual. Seks hanyalah satu dari enam dimensi yang terdapat dalam seksualitas. Seksualitas sendiri memiliki dimensi teologis, yakni ia berasal dari Allah demi kebaikan manusia. Dengan seksualitas tersebut, manusia dimampukan mengasihi Allah dan sesamanya. Daya tersebut mendorong manusia untuk empati dan memiliki relasi yang hangat dengan sesamanya.

5. Menghadapi Dorongan Seksual

        a. Represi

Menekan perasaan seksual yang ada, seakan-akan tidak terjadi dalam dirinya. Ia diajarkan bahwa dorongan seksual itu adalah buruk sehingga harus ditolak. Cara ini bersifat negatif karena dapat menimbulkan stres, gampang marah, sakit, dan loneliness. Represi menolak keberadaan kita sebagai mahluk yang bersekluas.

       b. Supresi

Memiliki kemiripan dengan Represi, tetapi dengan kesadaran dan pilihan. Supresi sering juga disebut mortifikasi (mematikan) yakni mematikan dorongan seksual demi memperoleh nilai yang lebih tinggi. Kendatipun ia menyadari diri sebagai mahluk berseksual tetapi ia memilih untuk tidak menyalurkannya.

       c. Sublimasi

Sumblimasi adalah upaya untuk mengalihkan dorongan seksual pada tindakan yang positif seperti bekerja, olahraga, bekerja, melukis, bermain musik, membaca, dll. Sublimasi yang sehat akan membawa kita kepada kebaikan.

      d. Gratifikasi, pelampiasan

Gratifikasi adalah pelampiasan atas dorongan seksual yang timbul dalam diri dengan cara melakukan pelampiasan fisik seperti masturbasi, senggama, dll. Tentu cara ini kurang tebat bagi kaum religius, karena ia hanya memandang manusia dari persfektif tubuh dan bukan totalitas manusianya. Bahkan, pelampiasan ini akan mungurangi keluhuran peribadi seseorang. Cara demikian sering kali digunakan untuk mengurangi loneliness, kekosongan, dan kesepian. Harus disadari bahwa hal itu hanya bersifat sementara dan akan menimbulkan kesepian yang lebih besar.

      e. Integrasi

Daripada melihat dorongan seksual sebagai musuh atau halangan untuk hidup religius, lebih baik mengalami seks sebagai teman yang membantu menghidupi cinta dalam selibat. Integritas berarti melihat dorongan seksual sebagai manifestasi seluruh pribadi manusia. Dorongan itu memampukan manusia untuk lebih menghargai dan mengasihi sesamanya. Seorang biarawan yang melihat buah dada perempuan, tidak melihatnya sebagai fisik saja yang menjadikkanya terangsang, tetapi sebagai ungkapan suluruh pribadi, sebagai ciptaan Tuhan yang indah dengan segala kehangatan, afeksi, perhatian, komitmen, dll.

Dengan melihat orang lain terbatas pada tampilan fisik saja, maka sesungguhnya kita merendahkan martabat kita sebagai manusia. Jika religius takut akan dorongan seksual, barangkali ia hanya memandang manusia dari dimensi fisik saja. Ketika kita mampu memandang manusia secara utuh, maka kita juga akan melihat di dalamnya ada kebebasan, hormat, kemuan, tanggungjawab, efek, dll.

        f. Menerima sebagai persembahan kepada Tuhan

Banyak kaum biarawan-biarawati mampu menghadapi dan mengolah dorongan itu dengan cara mempersembahkannya kepada Tuhan. Bersyukur atasnya karena menjadikan kita sebagai manusia yang utuh. Hal itu menjadi ungkapan cinta bagi Allah dengan cara menyarurkannya pada pelayanan kasih kepada sesama. Dengan demikian kita dimampukan untuk lebih peduli terhadap mereka yang sakit dan menderita serta lebih mampu bertekun dalam perutusan.


 6. Seksualitas dan Spritualitas

Ada orang yang memandang bahwa seksualitas dalam biara adalah buruk serta bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung dalam hidup kaum religius. Hal itu timbul karena seksualitas dipisakan dari spritualitas, yang keduanya harus menjadi satu kesatuan dalam pribadi yang dipanggil Tuhan.

Jika seksualitas dipandang secara sempit hanya pada seks dan nafsu badani, maka tidak heran jika seksualitas dianggap sebagai penghalang utama untuk menghayati hidup religius. Pada tahap yang lebih jauh, seorang religius akan membenci dan melukai dirinya. Justru pandangan yang keliru ini akan menggangu perjalanan hidup panggilan.

Seorang religius tidak akan mampu menghayati hidupnya, jika dari dalam dirinya ia terbagi. Kita harus menghidupi dan menghayati panggilan Tuhan dengan seluruh kemanusiawian kita. Kita dipanggil dengan seluruh kemanusiawian dan keterbatasan kita sebagai manusia. Seksualitas dan spritualitas, keduanya adalah kekuatan yang mempengaruhi seluruh hidup kita. Saling menguatkan untuk mewujudkan manusia yang utuh.

Oleh karena itu, sekualitas tidak perlu ditolak karena ia bagian utuh dari diri manusia yang sempurna. Ia hanya perlu disyukuri dan disalurkan dengan baik. Sebagai kaum religius, bagaimana kita mampu mewartakan, membagikan kasih serta mencintai orang lain padahal kita tidak dapat mencintai diri sendiri secara total.

Karena sekualitas itu bagaikan suatu api yang membara dan meluap-luap, maka jika tidak diarahkan dengan baik dapat merusak banyak hal. Namun jika ia dapat diintegrasikan dengan baik, maka akan menjadi indah dan membantu banyak orang.

7. Mengintegrasikan Antara Spritualitas dan Seksualitas

Dengan memiliki kesadaran penuh akan jati diri sebagai manusia yang berseksual dan berspritual, kita dimampukan untuk menerima diri secara total. Jika kita sudah mampu menerima diri, maka kita akan memiliki pemahaman yang tepat, benar, dan utuh akan keduanya. Marilah mempersembahkan segala hal yang kita alami kepada Allah. Menjalin relasi yang intim dengan Allah akan membantu kita untuk mengarahkan dorongan itu pada jalan yang benar.

Mari megembangkan cinta, intimacy, relasi yang hangat, compassion,  dan empati dalam hidup sehari-hari. Komitmen yang utuh atas panggilan akan membantu kita untuk mampu setia dalam usaha tersebut. Kita harus juga menyadari batas-batas yang harus kita buat dalam setiap tindakan kita. Hati nurani, akan menjadi rambu-rambu yang senantiasa mengingatkan kita pada jati diri kita sebagai kaum terpanggil. Mari meniru teladan para kudus dengan menghidupi askese untuk mengolah segala dorongan negatif.

          a. Intimacy

Intimacy adalah suatu relasi yang erat yang berlangsung lama. Di dalamnya ada kedekatan batin sehingga tercipta keterbukaan hati satu dengan yang lain. Relasi itu tidak mengaburkan kekhasan pribadi seseorang, namun semakin menegaskan dan mengukuhkan kepribadian kita yang berbeda. Bersahabat bukan berarti melebur menjadi satu, seia sekata baikan celana dan baju. Bersahabat juga dapat bersilang pendapat dan berbeda keyakinan. Persahabatan yang baik adalah tidak mengarahkan dan membentuk sahabatnya seperti yang dia pikirkan dan inginkan, tetapi menjadikannya semakin menjadi dirinya. Aku bukan poto kopi dari sahabatku. Dalam membangun persahabatan dibutuhkan komitmen.

Agar persahabatan itu tetap lestari, maka dibutuhkan cinta, yang diungkapkan dengan perhatian; empati; dukungan; kepercayaan; rasa hormat; penghargaan; kepercayaan; dan rasa aman. Kehangatan, kejujuran, dan saling menjaga kepercayaan penting dalam membangun persahabatan yang mendalam. Dibutuhkan juga kepekaan melihat kebutuhan dan situasi sahabatnya. Dalam menyampaikan sesuatu, kita harus memperhatikan perasaan lawan bicara kita. Memilih kata dan cara yang tepat dalam situasi yang tepat. Kedalaman persahabatan dirajut melalui komunikasi, maka tidak mungkin orang yang jarang berkomunikasi memiliki hubungan yang intens.

Bersahabat bukan berarti meniru hidup orang lain. Dalam persahatan yang intim dibutuhkan silang pendapat atau konflik. Relasi yang dibangun atas sikap ini akan semakin mempererat dan bukan sebaliknya meruntuhkan. Berbeda pendapat bukan berarti aku membenci dia. Menegur dengan cinta harus dimiliki dalam setiap persahabatan. Patut disadari, relasi yang semakin intens akan mengaburkan dan bahkan mematikan daya kritis kita terhadap sehabat kita. Persahabatan yang baik adalah persahabatan yang senantiasa menghidupkan kritik.

Persahabatan akan menjadi sehat jika di dalamnya ada keterbukaan, saling percaya, autentik dan tidak dibuat-buat, berani luka karena berkonflik, adanya relasi timbal balik (resiprok), satu dalam perbedaan, menghargai batas-batas kekhasan setiap priabadi, tidak ada indikasi untuk menggiring, hati-hati dan selektif, tidak takut ambil resiko, menggangkat persahabatan kepada Tuhan.

         b.  Loneliness/ Kesepian

Loneliness sering disebut kesepian atau kesendirian. Manusia adalah mahluk sosial, sehingga ia senantiasa ingin menjalin relasi dan komunikasi dengan yang lain. Namun ada kalanya  orang merasa sendirian dalam keramaian. Kesepian mengakibatkan keterpisahan. Kesepian ini dapat terjadi sementara dan berkepanjangan. Pada umumnya kesepian itu terjadi karena terpisah dari sahabat dan orang terdekat; disingkirkan komunitas; mendapat tugas baru yang tidak disukai; tidak dipahami oleh orang-orang sekitar; dan kehilangan relasi yang hangat.

Untuk menghadapi kesepian ini, pertama-tama kita harus mencari penyebab dari perasaan tersebut. Setelah menyadarinya, kita harus mulai menerima dan berdamai dengan situasi itu serta mulai mencari solusi atasnya. Meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi sangat penting pada tahab ini. Bagaimana kita mampu menyampaikan ide dengan baik serta mampu memahami orang lain dengan tepat pula. Semua usaha itu harus dipersembahkan bagi Allah. Menyerahkan semua pergumulan kita kepada Allah melalui doa dan penyerahan diri.

Mari menimba kekuatan dari Yesus yang mampu bertahan dalam kesepian empat puluh hari di padang gurun; menghadapi tuntutan orang Yahudi sendirian; ditinggalkan oleh para murid yang dicintaiNya; dan merasa ditinggalkan oleh Bapa di puncak salib. Yesus mampu bertahan dalam kesepianNya karena Ia sungguh dekat dengan Bapa, menyadari panggilanNya yakni melaksanakan kehendak Bapa, karena kasih kepada manusia, dan dibantu oleh ibu dan para muridNya.

Jika kesepian ini tidak diolah dengan cara yang tepat maka dapat mengakibatkan hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sering kali orang yang terjatuh dalam dunia kriminal, pornografi, kecanduan kerja, melarikan diri dan narkotika adalah orang-orang yang mengalami kesepian. Dalam lefel yang lebih kecil, orang yang kesepian adalah mereka yang sering kali mudah sakit, merasa bingung, emosi tidak stabil, mengurung diri, tidak mau berbicara, menyendiri. Kadang seseorang yang sungguh bergiat dan tekun dalam bekerja dan berdoa adalah mereka yang mengalami loneliness.

Dalam hidup membiara, kadang ada beberapa orang yang mengalami kesepian rohani. Mungkin saja, seorang biarawan mempunyai banyak teman, hubungan dengan komunitas baik, pekerjaan juga baik, tetapi ia mengalami kesepian yang mendalam, hatinya kering, hidup seakan tidak memiliki makna, gelisah, tidak tenang, dsb. Gejala kekeringan rohani dapat diamati, misalnya orang merasa tidak tenang, tidak tahan duduk dalam doa, malas melakukan praktek hidup rohani, kendor dalam pelayanan, tidak memiliki prioritas, mulai meragukan panggilan, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hidup membiara.

Kekeringan rohani timbul karena orang terlalu sibuk dengan pelayanan dan lupa akan hidup rohani. Dengan alasan kerasulan, lupa berdoa, membaca kitab suci dan buku-buku rohani, ibadat, ekaristi, devosi, retret, dan rekoleksi. Harus diingat, "kita bukanlah pekerja sosial."

           c. Solitude

Solitude dapat kita pahami sebagai keheningan batin. Dalam bahasa jawa sering disebut semedi. Ini merupakan kesendirian yang positif. Ia ingin mengalami kesendirian bersama Allah. Untuk menjalin relasi yang intim dengan dirinya dan Allah. Keheningan batin adalah salah satu cara untuk lepas dari loneliness. Semua orang kudus memiliki solitude. Allah berkarya dan hadir melalui seluruh ciptaan yang ada disekitar kita. Untuk itu, kita membutuhkan keheningan untuk mendengar suara Allah dan mengetahui kehendakNya. Semakin seseorang mengenal dirinya dengan baik maka ia akan mampu membangun itimacy yang sehat dengan orang lain.

8. Memiliki psikoseksual yang matang

Agar memiliki hubungan yang sehat dengan diri sendiri dan orang lain, kita mesti memiliki pemahaman dan konsep diri yang benar. Mari melihat diri secara positif. Banyak orang tidak mampu menerima keadaan dirinya sehingga stres dan depresi. Baginya itu adalah kekurangan dan kelehaman yang perlu ditutupi dan dibuang. Untuk itu, ia mulai melakukan banyak hal seperti diet yang keras, olah raga yang keras, melakukan perawatan, memakai barang-barang yang mahal, dll. Semua itu hendak menutupi kekurang percayaan dirinya.

Orang yang matang akan menerima dirinya apa adanya. Ia tidak membenci dirinya tetapi bersyukur atas apa yang dia miliki. Ia mencintainya sehingga ia merawatnya dengan baik. Orang yang mampu menerima dirinya akan memiliki harga diri dan tentu orang yang telah yakin terhadap dirinya akan mampu menjalin relasi yang sehat dengan orang lain. Penerimaan diri akan membuat seseorang berkembang, seimbang, dan utuh.

Kita diajak mengembangkan terus menerus relasi kita dengan Tuhan, komunitas,  sahabat, dan dengan tugas perutusan yang kita lakukan. Relasi yang kuat dengan Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap setia. Teman-teman sekomunitas memberi dukungan dan peneguhan. Perlu juga dijaga keseimbangan antara kerja, doa, hidup berkomunitas, pelayanan, dan kebutuhan fisik. Itu semua perlu dikembangkan secara seimbang, aman, dan teratur. Orang yang terlalu sibuk dengan kerja rentan terhadap kekeringan rohani.

Marilah menimba kekuatan dari Yesus Kristus. Di dalam diriNya sungguh terjaga integritas dan keseimbangan diri. RelasiNya dengan Bapa  tidak mengendorkan semangat kerasulanNya dan relasi dengan sahabat-sahabatNya. Relasi pribadi dengan Bapa yang mengutusNya menjadi semangat dan kekuatan hidupNya. Maka Yesus senantiasa masuk dalam keheningan, berdoa dan bertemu dengan BapaNya.

KerasulanNya juga sangat menonjol dan jelas. Seluruh waktunya digunakan untuk mewartakan sabda Allah. Yesus juga membangun persahabatan dengan banyak orang tanpa mengenal jenis kelamin, pekerjaan, suku, dan bangsa. TanganNya digunakan untuk menghidupkan dan menyembuhkan banyak orang dan tatapan mataNya membuat banyak orang berdosa bertobat. Kepekaan hatiNya sangat tinggi kepada orang lain. BagiNya setiap manusia adalah pribadi yang berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun