Gratifikasi adalah pelampiasan atas dorongan seksual yang timbul dalam diri dengan cara melakukan pelampiasan fisik seperti masturbasi, senggama, dll. Tentu cara ini kurang tebat bagi kaum religius, karena ia hanya memandang manusia dari persfektif tubuh dan bukan totalitas manusianya. Bahkan, pelampiasan ini akan mungurangi keluhuran peribadi seseorang. Cara demikian sering kali digunakan untuk mengurangi loneliness, kekosongan, dan kesepian. Harus disadari bahwa hal itu hanya bersifat sementara dan akan menimbulkan kesepian yang lebih besar.
   e. Integrasi
Daripada melihat dorongan seksual sebagai musuh atau halangan untuk hidup religius, lebih baik mengalami seks sebagai teman yang membantu menghidupi cinta dalam selibat. Integritas berarti melihat dorongan seksual sebagai manifestasi seluruh pribadi manusia. Dorongan itu memampukan manusia untuk lebih menghargai dan mengasihi sesamanya. Seorang biarawan yang melihat buah dada perempuan, tidak melihatnya sebagai fisik saja yang menjadikkanya terangsang, tetapi sebagai ungkapan suluruh pribadi, sebagai ciptaan Tuhan yang indah dengan segala kehangatan, afeksi, perhatian, komitmen, dll.
Dengan melihat orang lain terbatas pada tampilan fisik saja, maka sesungguhnya kita merendahkan martabat kita sebagai manusia. Jika religius takut akan dorongan seksual, barangkali ia hanya memandang manusia dari dimensi fisik saja. Ketika kita mampu memandang manusia secara utuh, maka kita juga akan melihat di dalamnya ada kebebasan, hormat, kemuan, tanggungjawab, efek, dll.
     f. Menerima sebagai persembahan kepada Tuhan
Banyak kaum biarawan-biarawati mampu menghadapi dan mengolah dorongan itu dengan cara mempersembahkannya kepada Tuhan. Bersyukur atasnya karena menjadikan kita sebagai manusia yang utuh. Hal itu menjadi ungkapan cinta bagi Allah dengan cara menyarurkannya pada pelayanan kasih kepada sesama. Dengan demikian kita dimampukan untuk lebih peduli terhadap mereka yang sakit dan menderita serta lebih mampu bertekun dalam perutusan.
 6. Seksualitas dan Spritualitas
Ada orang yang memandang bahwa seksualitas dalam biara adalah buruk serta bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung dalam hidup kaum religius. Hal itu timbul karena seksualitas dipisakan dari spritualitas, yang keduanya harus menjadi satu kesatuan dalam pribadi yang dipanggil Tuhan.
Jika seksualitas dipandang secara sempit hanya pada seks dan nafsu badani, maka tidak heran jika seksualitas dianggap sebagai penghalang utama untuk menghayati hidup religius. Pada tahap yang lebih jauh, seorang religius akan membenci dan melukai dirinya. Justru pandangan yang keliru ini akan menggangu perjalanan hidup panggilan.
Seorang religius tidak akan mampu menghayati hidupnya, jika dari dalam dirinya ia terbagi. Kita harus menghidupi dan menghayati panggilan Tuhan dengan seluruh kemanusiawian kita. Kita dipanggil dengan seluruh kemanusiawian dan keterbatasan kita sebagai manusia. Seksualitas dan spritualitas, keduanya adalah kekuatan yang mempengaruhi seluruh hidup kita. Saling menguatkan untuk mewujudkan manusia yang utuh.