Setidaknya terdapat dua alasan besar;
Pertama, pasir laut dapat dikatakan bukan material utama dan ideal untuk proyek pengembangan seperti reklamasi lahan dan kontruksi.
Kedua, kemungkinan biaya yang harus dibayar atas kerusakan ekosistem laut jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi dari kegiatan ekspor pasir laut ini.
Pasir laut sendiri memiliki kandungan garam yang tinggi karena berasal dari laut. Garam juga bersifat higroskopis (menyerap air) dan korosif terhadap logam.Â
Meskipun saat ini sudah ada teknologi canggih untuk menghilangkan kandungan tersebut melalui pencucian pasir laut, tetapi hal itu tidak menghilangkan resiko korosi dan tidak meningkatkan kualitas pasir yang ideal untuk dicampurkan dengan bahan material lainnya.
Oleh karena itu, jika kita berbicara peluang ekonomi pasir laut di pasar global, permintaannya dapat dikatakan bukan termasuk dalam kategori high demand yang dapat memberikan keuntungan apabila dijadikan sebagai komoditas ekspor.Â
Pertimbangan efisiensi proses, risiko dan kualitas membuat permintaan pasir laut mungkin tidak akan terus meningkat dalam jangka panjang sebagai bahan material proyek pengembangan.
Tetapi jika ekspor pasir laut ini terus dilakukan, maka pemerintah harus siap menanggung biaya yang mungkin jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dari kegiatan ekspor tersebut.Â
Kehancuran ekosistem laut, penurunan biodiversitas, erosi pantai, dan terganggunya kehidupan sosio-ekonomi masyarakat pesisir pantai akan menelan biaya yang besar dalam jangka panjang.
Selain itu, upaya restorasi atau perbaikan setelah kerusakan yang terjadi pada ekosistem laut bukan hanya menelan biaya yang besar saja, tetapi juga belum tentu dapat berhasil mengembalikan ekosistem yang rusak seperti semula. Kalau pun berhasil, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk ekosistem kembali pulih dari kerusakan tersebut.
Di zaman yang semakin maju ini sudah semestinya berjalan lurus dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara berpikir.