Negara dengan sumber daya alam yang melimpah memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, tentu dari sumber daya alam ini dapat memberikan manfaat pada manusia di sekitarnya bahkan hingga value added bagi negara.
Tetapi, kekurangannya adalah dari keberadaan sumber daya alam yang melimpah inilah melahirkan keserakahan manusia yang tidak ada habisnya. Seolah tidak pernah puas, mereka akan terus mengeksploitasi sumber daya alam yang ada dan dengan tidak mempedulikan dampak lingkungan yang terjadi.
Dari daratan hingga lautan, sumber daya alam terus dikeruk, dirusak, dan berlindung di balik tameng "peluang ekonomi". Harga yang harus dibayar dari kegiatan eksploitasi ini tentu adalah kerusakan ekosistem yang merupakan rumah bagi berbagai jenis spesies flora, fauna, dan biota laut.
Baru-baru ini publik digemparkan dengan pemerintah yang secara sah mengambil keputusan untuk membuka kembali keran ekspor pasir laut yang selama 20 tahun telah dilarang.
Masyarakat dan pihak-pihak yang peduli terhadap lingkungan mengecam keras keputusan tersebut karena dapat berisiko dapat merusak ekosistem laut.
Keputusan pemerintah kali ini dilihat dari segi mana pun tidak ada hal baik di dalamnya. Indonesia masih memiliki komoditi ekspor lain yang mungkin akan menghasilkan multiplier effect jangka panjang yang menguntungkan bagi negara, dibandingkan dengan membuka kembali ekspor pasir laut yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem.
Mengenal ekspor pasir laut lebih lanjut
Seperti namanya "ekspor", kegiatan ekspor pasir laut ini merupakan kegiatan menjual dan mengirim pasir laut ke luar negeri yang biasanya dimanfaatkan dalam berbagai proyek pengembangan seperti reklamasi lahan, konstruksi, hingga pembuatan kaca.
Namun, praktik ini bisa dikatakan kontroversial karena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti erosi pantai, terganggunya ekosistem laut, dan penurunan kualitas perairan.
Beberapa negara sudah melarang keras dan membatasi kegiatan ekspor pasir laut ini, termasuk Indonesia yang benar-benar mulai menghentikan kegiatan ekspor ini sejak tahun 2003.
Jika menelisik benang sejarah mengapa pasir laut dijadikan sebagai bahan material alternatif dalam proyek pengembangan semua itu bermula ketika pasca Perang Dunia II, di mana banyak negara yang melakukan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran.
Ditambah lagi dengan urbanisasi yang semakin pesat di banyak negara terutama Asia pada paruh kedua abad ke-20. Sehingga hal ini yang mendorong permintaan terhadap pasir meningkat pesat dari biasanya.
Pasir yang biasanya digunakan untuk proyek pengembangan seperti reklamasi dan kontruksi adalah pasir sungai. Ini karena pasir sungai memiliki tekstur dan komposisi yang ideal untuk digunakan dalam beton dan bahan bangunan lainnya.Â
Namun, karena sumber pasir sungai saat itu mengalami penambangan besar-besaran akibat permintaan yang meningkat, membuat pasir sungai semakin sulit ditemukan.
Dengan pasokan pasir sungai yang kian menipis tetapi urbanisasi terus meningkat pesat, mendorong pencarian alternatif yang lebih mudah untuk diakses yaitu salah satunya adalah pasir laut.
Apalagi negara-negara kecil dengan keterbatasan lahan seperti Singapura, mulai menggunakan pasir laut sebagai alternatif lain untuk reklamasi lahan.Â
Singapura juga menjadi negara pertama yang terkenal dalam penggunaan pasir laut dalam proyek reklamasi lahan besar-besar dengan tujuan untuk memperluas area wilayahnya.
Hingga kemudian muncul negara-negara lain dengan proyek reklamasi yang tak kalah besar seperti Hongkong, Dubai, dan Belanda yang juga memanfaatkan pasir laut untuk proyek reklamasi, membangun wilayah baru, hingga membangun infrasturktur dan kawasan industri.
Dampak ekspor pasir laut bagi laut dan manusia
Kegiatan ekspor pasir laut melalui penambangan yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang memiliki dampak lingkungan yang sangat signifikan.
Penambangan pasir laut dapat menyebabkan erosi pantai yang parah. Pasir laut sendiri memiliki peran utama sebagai pelindung garis pantai dari kuatnya deburan ombak.
Apabila erosi pantai terjadi, maka hantaman gelombang laut dapat mengikis tanah pantai dan mengakibatkan perubahan garis pantai, banjir pesisir saat terjadinya badai atau kenaikan permukaan air laut, hingga kerusakan habitat pantai seperti hutan bakau, terumbu karang, serta flora dan fauna yang hidup di sekitar wilayah pesisir.
Tidak hanya wilayah daratan, kerusakan yang dihasilkan juga bisa berdampak pada ekosistem habitat bawah laut. Di mana, penambangan pasir laut ini bisa merusak area terumbu karang secara langsung maupun melalui partikel sedimen yang menutupi terumbu karang, sehingga dapat mengganggu fotosintesis alga simbiotik yang bisa berakhir matinya terumbu karang tersebut.
Kerusakan habitat di dasar laut juga tak bisa dihindari. Banyak organisme laut yang bergantung pada pasir laut untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, penambangan yang dilakukan dapat merusak habitat mereka dan mengganggu aktivitas rantai makanan di bawah laut.
Dan jika kerusakan terus terjadi, hal ini dapat mengakibatkan hilangnya spesies pada sebuah area tertentu. Ketika ini terjadi, maka dapat menyebabkan penurunan biodiversitas dan ketidakseimbangan ekosistem serta menurunkan kesehatan lingkungan laut secara menyeluruh.
Dampak ini tidak hanya terjadi dalam lingkup ekosistem laut saja, tetapi manusia juga turut ikut dirugikan. Di mana penambangan pasir laut ini dapat berdampak pada ekonomi dan kehidupan masyarakat lokal sekitar yang menggantungkan hidupnya pada laut dan pesisir.
Masyarakat lokal sekitar pesisir laut akan bergantung pada sumber daya laut yang ada, baik itu perikanan, pariwisata, industri kreatif, dan lain sebagainya. Ketika penambangan pasir merusak ekosistem pesisir, maka tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat dapat kehilangan mata pencaharian mereka.
Selain secara ekonomi terancam, erosi pantai yang terjadi akibat penambangan pasir laut ini juga dapat mengancam infrastruktur di dekat wilayah garis pantai, seperti; jalan, bangunan, dan fasilitas umum lainnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan ekosistem yang terjadi di laut bisa berdampak besar bagi kehidupan sosio-ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir.
Tidak ada kompromi dalam ekspor pasir laut
Dilihat dari sisi mana pun, ekspor pasir laut ini tidak memiliki nilai positif yang perlu dikompromikan.
Setidaknya terdapat dua alasan besar;
Pertama, pasir laut dapat dikatakan bukan material utama dan ideal untuk proyek pengembangan seperti reklamasi lahan dan kontruksi.
Kedua, kemungkinan biaya yang harus dibayar atas kerusakan ekosistem laut jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi dari kegiatan ekspor pasir laut ini.
Pasir laut sendiri memiliki kandungan garam yang tinggi karena berasal dari laut. Garam juga bersifat higroskopis (menyerap air) dan korosif terhadap logam.Â
Meskipun saat ini sudah ada teknologi canggih untuk menghilangkan kandungan tersebut melalui pencucian pasir laut, tetapi hal itu tidak menghilangkan resiko korosi dan tidak meningkatkan kualitas pasir yang ideal untuk dicampurkan dengan bahan material lainnya.
Oleh karena itu, jika kita berbicara peluang ekonomi pasir laut di pasar global, permintaannya dapat dikatakan bukan termasuk dalam kategori high demand yang dapat memberikan keuntungan apabila dijadikan sebagai komoditas ekspor.Â
Pertimbangan efisiensi proses, risiko dan kualitas membuat permintaan pasir laut mungkin tidak akan terus meningkat dalam jangka panjang sebagai bahan material proyek pengembangan.
Tetapi jika ekspor pasir laut ini terus dilakukan, maka pemerintah harus siap menanggung biaya yang mungkin jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dari kegiatan ekspor tersebut.Â
Kehancuran ekosistem laut, penurunan biodiversitas, erosi pantai, dan terganggunya kehidupan sosio-ekonomi masyarakat pesisir pantai akan menelan biaya yang besar dalam jangka panjang.
Selain itu, upaya restorasi atau perbaikan setelah kerusakan yang terjadi pada ekosistem laut bukan hanya menelan biaya yang besar saja, tetapi juga belum tentu dapat berhasil mengembalikan ekosistem yang rusak seperti semula. Kalau pun berhasil, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk ekosistem kembali pulih dari kerusakan tersebut.
Di zaman yang semakin maju ini sudah semestinya berjalan lurus dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara berpikir.
Pemerintah seharusnya bisa melihat mana komoditi ekspor yang perlu dikembangkan lebih lanjut dan memberikan value added dalam jangka panjang bagi negara dan mana yang justru sebaliknya yaitu merugikan negara.
Masyarakat rasanya sudah terlalu jengah dengan berbagai keputusan dan kebijakan yang seolah "menguntungkan negara" tetapi faktanya tidak sama sekali.Â
Dibandingkan terus merusak kelestarian lingkungan, pemerintah lebih baik fokus untuk menciptakan strategi ekonomi yang berkelanjutan dan justru melestarikan sumber daya alam yang ada. Sehingga negara mampu menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H