Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Relokasi di Kawasan Wisata Ikonik: Antara Estetika Tata Ruang dan Ekonomi Pedagang

29 Juli 2024   01:54 Diperbarui: 29 Juli 2024   13:53 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Jalan Malioboro di Yogyakarta. (Dok. Shutterstock/Jaya Tri Hartono via KOMPAS.com)

Pembangunan bagi suatu negara adalah sebuah simbol dari perkembangan dan kesejahteraan.

Perkembangan menandakan bahwa negara terus berusaha memberikan berbagai fasilitas dan infrastruktur yang dapat bermanfaat bagi warganya.

Ketika pembangunan berhasil maka secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Bukan hanya dalam lingkup negara saja, pembangunan bagi setiap daerah juga sama pentingnya.

Selain memang menjadi perwakilan dari negara untuk bisa melancarkan pembangunan secara lebih merata, tetapi juga setiap daerah memiliki caranya masing-masing untuk dapat mewujudkan pembangunan tersebut.

Dibalik fasilitas dan infrastruktur dalam pembangunan, estetika dalam tata ruang merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan.

Bukan hanya untuk terlihat elok dipandang, namun juga agar setiap ruang dalam dapat lebih tertib, rapi, dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Biasanya aspek estetika tata ruang suatu daerah akan erat kaitannya dengan para pedagang yang sering kali berjualan di area-area yang menyebabkan kemacetan, kerusakan pada fasilitas umum, hingga mengotorinya dengan berbagai sampah kemasan dan makanan.

Sehingga ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah agar dapat memberikan solusi bagi berbagai pihak.

Apalagi jika ingin merubah atau menertibkan kawasan wisata dengan ciri khasnya sudah melekat dan membuatnya menjadi ikonik, besar atau kecilnya dari perubahan itu bisa memiliki dampak yang besar dan mungkin bisa saja merugikan bagi semua pihak.

Ketika pemerintah ingin melakukan perubahan tata ruang misalnya dengan merelokasi para pedagang di area wisata yang dianggap perlu dirapikan, maka pemerintah harus juga memastikan bahwa masyarakat yang berdagang mendapatkan tempat yang "sesuai" dan bukan hanya berbicara estetika tata ruang yang dianggap sebagai sebuah standar bagi suatu daerah.

Karena dikhawatirkan perubahan melalui relokasi ini dapat merubah atmosfer suasana dari objek wisata tersebut yang memang sudah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya.

Hal ini juga kemudian akan menghasilkan dampak berganda pada ekonomi pedagang dan pertumbuhan ekonomi dari daerah tersebut secara tidak langsung.

Belajar dari relokasi pedagang di wisata ikonik "Malioboro" dan "Cihampelas"

Ilustrasi suasana Malioboro dan Cihampelas/canva
Ilustrasi suasana Malioboro dan Cihampelas/canva

Beberapa waktu lalu, lokasi pedagang di wisata ikonik Malioboro dan Cihampelas direlokasi oleh pemkot setempat.

Seperti kita ketahui juga bahwa kedua tempat ini memang identik dengan wisata jalan-jalan yang menyuguhkan berbagai macam pedagang yang menjual pernak-pernik dan oleh-oleh khas daerah tersebut pada sepanjang jalan.

Jika dinilai dari segi tata ruang, kedua tempat wisata ini memang menyebabkan bagian dari area kota terlihat seperti carut-marut khususnya apabila dilihat dari para pedagang yang memadati jalan tersebut.

Hingga akhirnya pemerintah setempat dari kedua wisata ikonik tersebut mencoba menertibkan tata ruang wilayah di area keduanya agar terlihat lebih tertata, rapi, dan elok untuk dipandang dengan cara merelokasinya ke tempat yang baru.

Bagaikan pisau bermata dua, tujuan baik ini justru menghasilkan dampak negatif khususnya berkaitan dengan bisnis para pedagang yang juga sekaligus menjadi pemeran utama dari kedua wisata ikonik tersebut.

Teras Cihampelas kini merana. Sejumlah fasilitas umum rusak dan sampah berserakan di mana-mana. (Foto: iNews/BILLY MAULANA FINKRAN)
Teras Cihampelas kini merana. Sejumlah fasilitas umum rusak dan sampah berserakan di mana-mana. (Foto: iNews/BILLY MAULANA FINKRAN)

Pemkot Bandung merelokasi para pedagang yang ada di sepanjang jalan Cihampelas dan dipindahkan pada jembatan layang bagi pedestrian atau biasa dikenal dengan skywalk pada tahun 2017 lalu.

Lokasi ini kemudian yang akan memfasilitasi 192 pedagang kaki lima yang telah terdaftar, dengan penataan tata ruang yang lebih tertib, rapi, dan estetik yang diberi nama "Teras Cihampelas".

Tujuan relokasi ini diungkap oleh pemkot Bandung dengan alasan agar bisa mengurai kemacetan yang sering terjadi di wilayah tersebut, serta membuat area wisata belanja ikonik ini yang sebelumnya terlihat kotor dan kumuh agar lebih tertata dengan baik.

Namun kenyataannya justru sebaliknya, karena setelah direlokasi pedagang justru dihadapkan dengan sepinya pengunjung hingga menyebabkan banyak kios pedagang yang tutup.

Bahkan saat ini teras Cihampelas seolah seperti 'mati' karena jarang terlihatnya aktivitas pengunjung di area tersebut.

Asyiknya Belanja di Teras Malioboro/gotripina.com
Asyiknya Belanja di Teras Malioboro/gotripina.com

Hal serupa juga terjadi di Malioboro, di mana pemkot setempat melakukan relokasi para pedagang yang berjualan di sepanjang jalan Malioboro dengan tujuan untuk menertibkan area tersebut agar dapat menjadi kawasan pedestrian untuk mengembangkan sistem pejalan kaki yang berkualitas.

Selain itu juga adanya agenda rencana didaftarkannya kawasan wisata Malioboro sebagai sumbu filosofi Yogyakarta kepada UNESCO serta pemberian legalitas usaha untuk pedagang kaki lima yang sebelumnya hanya menempati pekarangan-pekarangan atau lahan milik pertokoan juga menjadi alasan selanjutnya.

Hingga akhirnya para pedagang ini direlokasi pada sebuah tempat yang disebut dengan "Teras Malioboro" yang akan berlokasi di dua gedung berbeda.

Kedua tempat ini kemudian nantinya akan menampung kurang lebih 2000 pedagang kaki lima yang semula berjualan di sepanjang Jalan Malioboro.

Setahun setelah relokasi, banyak para pedagang yang mengeluhkan sepi pembeli hingga tempat atau kios yang dianggap terlalu kecil.

Para pedagang juga mengungkapkan bahwa mereka lebih senang berjualan di tempat yang lama dan merasa bahwa para pengunjung/pembeli lebih ramai ketika mereka berjualan di sepanjang Jalan Malioboro.

Sebenarnya kedua tempat wisata ikonik ini menghadapi permasalahan yang sama yaitu relokasi dan ditempatkan di area dengan konsep yang jauh berbeda. 

Seperti kita ketahui bahwa Malioboro dan Cihampelas identik dengan wisata jalan-jalan dengan berjalan kaki di mana wisatawan disuguhkan berbagai macam pernak-pernik oleh-oleh pada sepanjang jalan.

Kevin Lynch seorang perencana kota asal Amerika Serikat sekaligus penulis buku "The Image of the City" lebih lanjut menjelaskan tentang bagaimana cara menggambarkan citra yang kuat dan melekat bagi penduduk maupun pengunjung melalui lima elemen yaitu jalur, tepi, kawasan, simpul, dan tengaran.

Dan jika dihubungkan dengan kasus relokasi yang terjadi pada Malioboro dan Cihampelas mungkin elemen jalur dan kawasan yang paling jelas terlihat dampaknya.

Dalam elemen jalur, sebelum relokasi terjadi pedagang mungkin berada di jalur yang sering dilalui oleh wisatawan. Yang mana memang jelas bahwa kedua wisata tersebut memang identik dengan rekreasi jalan kaki pada sepanjang jalan yang berisi rentetan berbagai macam pedagang.

Dalam hal ini relokasi membuat aksesibilitas pengunjung terhadap para pedagang menjadi berubah.

Selanjutnya dampak lainnya adalah pada elemen kawasan. Di mana relokasi yang dilakukan pada tempat yang 'berbeda' dan bukan seperti sebelumnya (pada sepanjang jalan) melainkan pada sebuah area yang dinamakan teras, menyebabkan perubahan pada karakter kawasan.

Padahal karakter kawasan sendiri merupakan identitas dan kunci utama yang menarik para pengunjung untuk datang ke objek wisata tersebut.

Jika kita uraikan pada kasus yang terjadi pada relokasi pedagang di Cihampelas dan Malioboro sudah terlihat jelas bahwa relokasi yang dilakukan merubah jalur yang sering dilalui wisatawan.

Selain itu, aksesibilitas pada lokasi yang baru juga cukup menyulitkan para pengunjung sehingga membuat banyak pengunjung yang lebih memilih menghabiskan waktunya di lokasi yang lama.

Dari sisi karakter kawasan, kedua pemkot merubah kawasan dari kedua wisata ikonik ini yang semula berada di 'sepanjang jalan' menjadi suatu area lokasi (teras).

Atmosfer suasana pun berbanding terbalik karena pengunjung sudah tidak mendapatkan sensasi menyenangkan dengan berjalan kaki di sepanjang jalan seperti sebelumnya.

Maka ini menunjukkan bagaimana pentingnya "memastikan" relokasi ini bisa menjadi win-win solution bagi semua pihak.

Bagi pihak pemerintah yang ingin menciptakan tata ruang kota yang tertib, namun secara bersamaan juga harus memikirkan bahwa relokasi tersebut tidak merugikan masyarakat dalam hal ini para pedagang.

Apalagi jika sudah berhubungan dengan lokasi wisata ikonik yang sudah bertahun-tahun lamanya memiliki ciri khas yang kental seperti Malioboro dan Cihampelas, bukan hanya soal menertibkan saja tetapi bagaimana jangan sampai perubahan yang dilakukan dalam bentuk kebijakan relokasi justru menjadi bumerang bagi objek wisata tersebut.

Seperti halnya teori Tipping Point yang dikemukakan oleh Malcolm Gladwell yang intinya menjelaskan tentang "perubahan sekecil apapun dapat memicu perubahan besar dalam masyarakat atau perilaku pasar".

Perubahan pada objek wisata ikonik Malioboro dan Cihampelas dengan merelokasi para pedagang dengan jelas telah merubah atmosfer suasana yang telah terbentuk selama bertahun-tahun lamanya.

Tentu ini akan berdampak buruk pada komponen kecil dari wisata tersebut yaitu para pedagang karena ini akan berkaitan dengan naik-turunnya jumlah pengunjung sebagai akibat dari relokasi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun