Ketika pemerintah ingin melakukan perubahan tata ruang misalnya dengan merelokasi para pedagang di area wisata yang dianggap perlu dirapikan, maka pemerintah harus juga memastikan bahwa masyarakat yang berdagang mendapatkan tempat yang "sesuai" dan bukan hanya berbicara estetika tata ruang yang dianggap sebagai sebuah standar bagi suatu daerah.
Karena dikhawatirkan perubahan melalui relokasi ini dapat merubah atmosfer suasana dari objek wisata tersebut yang memang sudah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya.
Hal ini juga kemudian akan menghasilkan dampak berganda pada ekonomi pedagang dan pertumbuhan ekonomi dari daerah tersebut secara tidak langsung.
Belajar dari relokasi pedagang di wisata ikonik "Malioboro" dan "Cihampelas"
Beberapa waktu lalu, lokasi pedagang di wisata ikonik Malioboro dan Cihampelas direlokasi oleh pemkot setempat.
Seperti kita ketahui juga bahwa kedua tempat ini memang identik dengan wisata jalan-jalan yang menyuguhkan berbagai macam pedagang yang menjual pernak-pernik dan oleh-oleh khas daerah tersebut pada sepanjang jalan.
Jika dinilai dari segi tata ruang, kedua tempat wisata ini memang menyebabkan bagian dari area kota terlihat seperti carut-marut khususnya apabila dilihat dari para pedagang yang memadati jalan tersebut.
Hingga akhirnya pemerintah setempat dari kedua wisata ikonik tersebut mencoba menertibkan tata ruang wilayah di area keduanya agar terlihat lebih tertata, rapi, dan elok untuk dipandang dengan cara merelokasinya ke tempat yang baru.
Bagaikan pisau bermata dua, tujuan baik ini justru menghasilkan dampak negatif khususnya berkaitan dengan bisnis para pedagang yang juga sekaligus menjadi pemeran utama dari kedua wisata ikonik tersebut.
Pemkot Bandung merelokasi para pedagang yang ada di sepanjang jalan Cihampelas dan dipindahkan pada jembatan layang bagi pedestrian atau biasa dikenal dengan skywalk pada tahun 2017 lalu.