Kehadiran e-commerce di kehidupan masyrakat telah mengubah bagaimana cara kita berbelanja dan bertransaksi. Kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan membuat banyak dari masyarakat melihat ini sebagai bentuk baru dari sebuah "pasar" yang tidak memerlukan biaya yang mahal untuk masuk ke dalamnya.
Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa sebelum lahirnya e-commerce, kemunculan transaksi jual beli online pertama kali justru lahir dari jejaring sosial media khususnya di Indonesia.
Sejak kemunculannya pada tahun 2000-an, pengguna situs jejaring sosial media kian hari semakin melonjak pesat.Â
Selanjutnya jejaring sosial ini dimanfaatkan tidak hanya sekedar sebagai wadah untuk mengekspresikan diri, tetapi menjadi sesuatu kegiatan yang dapat memberikan sebuah value added berupa keuntungan.
Pelaku bisnis saat itu mulai memanfaatkan jejaring sosial sebagai media pengiklanan yang dipercaya saat itu dapat membawa lebih banyak peminat pada produk atau jasa yang ditawarkan. Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas jejaring sosial membuat penggunaan jejaring sosial yang semula digunakan untuk media iklan kemudian berubah menjadi sebuah media "transaksi jual-beli".
Ini membuat pola permainan dalam bisnis seketika berubah dengan cepat, yang semula berbentuk tradisional di mana adanya transaksi langsung antara penjual dan pembeli menjadi pembeli dapat dengan mudah mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan melalui internet atau jejaring sosial.
Fenomena ini akhirnya dikenal dengan nama social commerce atau sebuah cabang e-commerce yang berkembang pesat dan aktivitasnya memanfaatkan social media atau media digital lainnya untuk menjembatani antara pelaku bisnis dan konsumen.Â
Di Indonesia sendiri konsep social commerce muncul sudah cukup lama, mungkin kita akan familiar dengan forum jual beli yang ada di platform social media Facebook dan forum komunitas seperti Kaskus.
Sebelum adanya e-commerce yang kita kenal saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang memulai bisnis onlinenya dari kedua plaform tersebut. Tak sedikit yang menganggap bahwa kehadiran kedua platform ini sebagai salah satu inovasi yang merubah cara masyarakat melakukan transaksi jual beli.
Hingga akhirnya semakin berjalannya waktu social commerce mulai tergeser oleh kehadiran perusahaan raksasa e-commerce di Indonesia, sebut saja seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Blibli, Lazada, dan lain sebagainya. Pergeseran ini membuat pola permainan dalam bisnis digital kembali berubah.
Kehadiaran e-commerce di Indonesia juga membawa iklim baru dalam dunia bisnis, di mana e-commerce membawa kemudahan yang lebih menguntungkan lagi dibandingkan dengan social commerce. Mulai dari fitur-fitur yang membuat seseorang lebih mudah dan cepat dalam menemukan apa yang mereka cari, hingga keamanan yang lebih terjamin.
Ini semua kemudian terbukti dengan total penjualan e-commerce di Indonesia dalam 10 tahun terakhir (2012-2022) meningkat dari US$140 juta menjadi US$15,6 miliar yang mewakili sekitar 3,4% dari penjuala ritel. Dalam 10 tahun terakhir ini pertumbuhannya diperkirakan mencapai 11.143% dan telah mengubah kondisi bisnis digital di Indonesia secara dratis.
Menurut laporan Google, Temasek, dan Bain & Company bertajuk e-Conomy SEA 2023, nilai transaksi bruto atau gross merchandise value (GMV) ekonomi digital di Asia Tenggara mencapai US$218 miliar pada 2023. Jumlah tersebut naik 11% dibandingkan pada tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar US$195 miliar.Â
Indonesia menempati urutan pertama di Asia Tenggara  dengan nilai GMV ekonomi digital mencapai US$82 miliar. Maka tidak mengherankan jika ekonomi digital bisa secara dramatis mengubah pola permainan bisnis di Indonesia dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian.
Kolaborasi TikTok dan Tokopedia
Social media TikTok di Indonesia saat ini merupakan sebuah aplikasi jejaring sosial yang menjadi favorit masyarakat luas. Pada awal kemunculannya, TikTok merupakan sebuah wadah bagi siapa saja yang ingin mengekspresikan diri melalui video dan biasanya identik dengan trend menari yang dengan cepat menyebar di setiap lapisan masyarakat.
Namun beberapa tahun terakhir ini TikTok menawarkan sebuah fitur baru yang bernama TikTok Shop. Sebuah fitur yang menawarkan kemudahan transaksi belanja online dengan lebih mudah dan menyenangkan karena biasanya aktivitas jual-beli online ini dilakukan melalui live streaming sehingga interaksi antara penjual dan pembeli yang terasa lebih intens.
Keberadaan fitur ini kemudian berkembang dengan sangat pesat dan memilik tempat tersendiri di hati para penggunanya. Hingga akhirnya banyak masyarakat memiliki sebuah asumsi pribadi yang kemudian berkembang dan diakui juga di lingkungan masyrakat khususnya di Indonesia, bahwa berbelanja melalui TikTok Shop "lebih murah" dibandingkan e-commerce lainnya.
Sejak kemunculannya pada tahun 2021, menurut laporan Momentum Works transaksi yang terjadi di TikTok Shop pada tahun 2021 adalah US$600 juta, kemudian meningkat pesat pada tahun 2022 menjadi US$4,4 miliar atau meningkat sebanyak tujuh kali lipat hanya dalam waktu satu tahun saja.Â
Angka ini dapat diperkirakan terus meningkat dan pada tahun 2023, dan bahkan transksi di TikTok Shop diperkirakan mencapai US$15 miliar atau sekitar Rp 230 triliun.
Tentu ini membuat perkembangan TikTok secara umum menjadi lebih besar lagi dibandingkan dengan awal kemunculannya yang hanya sebagai sebuah platform social media biasa saja.Â
Hingga akhirnya saat ini juga TikTok mulai dikenal oleh masyarakat luas sebagai social commerce terbesar yang ada di Indonesia. Maka, secara tidak langsung TikTok mengubah permainan bisnis yang ada di Indonesia dan kembali lagi ke era social commerce.
Namun keberadaan fitur TikTok Shop ini menuai pro dan kontra dikalangan para pelaku bisnis. Banyak yang menganggap bahwa kehadirannya mematikan bisnis UMKM yang ada di Indonesia.Â
Keresahan ini kemudian dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan mengambil langkah tegas berupa membatasi aktivitas social commerce yang ada di TikTok Shop dengan melakukan pemblokiran pada fitur tersebut.
Baru-baru ini jagat media sosial dihebohkan dengan berita bahwa TikTok akan berkolaborasi dengan Tokopedia khususnya berkaitan kegiatan transaksi belanja online. Banyak respon positif dari warganet yang menyebut bahwa ini merupakan langkah yang tepat bagi kedua belah pihak untuk melakukan kolaborasi tersebut.
Dari sisi TikTok, mereka dapat kembali mengaktifkan fitur Tiktok Shop sehingga aktivitas pada platform social media ini akan berjalan lebih aktif dan masif lagi dibandingkan dengan sebelum adanya pemblokiran pada fitur TikTok Shop yang membuat perkembangan TikTok di Indonesia sedikit mengalami hambatan.
Lain dengan Tokopedia, langkah kolaborasi dengan TikTok ini dapat menjadi sebuah momentum untuk dapat menjadi raksasa e-commerce terbesar dan terkuat di Indonesia, serta dapat mengambil pangsa pasar yang saat ini dipegang oleh para e-commerce pesaingnya.
Berita terbaru menjelaskan bahwa proses kolaborasi ini masih dalam tahap menunggu persetujuan izin regulasi dari pemerintah Indonesia karena memang sebelumnya fitur TikTok Shop sendiri sudah di blokir.
Zulkifli Hasan selaku Menteri Perdagangan RI menanggapi hal ini dengan positif bahwa kolaborasi ini boleh saja dilakukan selama memang TikTok bisa bekerja sama dengan pihak pelaku bisnis lokal, namun dengan catatan tetap memperhatikan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H