Ketiganya membahas tentang musik sebagai sebuah bahasa universal yang digunakan orang-orang sejak lama untuk berkomunikasi, menghibur diri, dan juga berdiplomasi. Dan hal tersebut dikaitkan dengan kondisi saat ini.
Prof. Margaret menyampaikan materi tentang Borobudur sebagai Wujud Kehidupan Musik dan Budaya Asia Tenggara, berdasar kajian relief-relief yang ada. Ada banyak jenis alat musik yang ditemukan di relief Candi Borobudur, baik alat musik tiup, pukul, maupun petik.
Selanjutnya, pembicara kedua yakni Addie MS menyatakan bahwa fakta sejarah menunjukkan musik sangat efektif untuk mencairkan ketegangan dan kekakuan suasana. Suhu politik yang memanas dapat diredam dengan musik. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan musik dapat digunakan sebagai alat diplomasi.
Contohnya misalnya di tahun 1973 di tengah kekakuan hubungan antara Amerika dan China, Philadelphia Orchestra bisa tampil di Beijing. Demikian pula di tahun 2008 di mana saat itu terjadi ketegangan hubungan antara Amerika dan Korea Utara. Grup orkestra New York Philharmonic bisa tampil di Pyongyang. Sesuatu yang mustahil terjadi, jika tidak melalui jalur seni dalam hal ini musik.
Musik bisa digunakan sebagai lingua franca atau bahasa penghubung untuk diplomasi dengan bangsa lain di dunia. Sesuatu yang mungkin sekali sudah dilakukan oleh masyarakat Mataram Kuno berdasarkan relief yang terpahat di Candi Borobudur.
Paparan dari pemateri ketiga di sesi pertama yakni Tantowi Yahya juga tidak kalah menariknya. Tantowi Yahya yang saat ini menduduki posisi sebagai Duta Besar LBPP RI untuk New Zealand, Samoa, Tonga, Cook Islands and Niue and the Pacific Region ini sudah membuktikan bagaimana efektifnya musik digunakan sebagai alat diplomasi.
Terlebih saat ini Tantowi ditugaskan di area negara pasifik yang masyarakatnya menjadikan musik sebagai bagian dari hidupnya. Sehingga diplomasi dengan menggunakan musik sudah sering dilakukan Tantowi sejak tahun 2017.
Di sesi ke dua bahasan diskusi lebih mengarah kepada bagaimana mengimplementasikan Sound Of Borobudur sebagai sebagai sebuah gerakan yang berkelanjutan. Dan menjadikan SOB ini sebagai sebuah destinasi baru yang semakin mengangkat potensi Borobudur sebagai destinasi super prioritas. Yang akan memberi dampak nyata khususnya kepada masyarakat di sekitarnya, dan mengangkat nama Indonesia.
Dalam sesi kedua ini tampil sebagai narasumber Prof. DR. M. Baiquni, (Development geographer, founder of the Sustainable Tourism Action Research Society, and former Head of the Master Program in Tourism Studies at Gadjah Mada University (UGM), Dr. Muhammad Amin, S.Sn., M.Sn, M (Director of the Music Industry, Performing Arts, and Publishing of Ministry of Tourism and Creative Industry of Indonesia, Moe Chiba wakil dari UNESCO, dan Sulaiman Shehdek wakil dari Visit Indonesia Tourism Officer Singapore (VITO).
Narasumber pertama Prof. DR. M. Baiquni menyampaikan, tourism memegang peran besar dalam menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar. Di mana tourism merupakan kebutuhan fisik dan mental, serta merupakan ziarah peradaban.
Jadi dalam mengembangkan wisata Borobudur selain 4 A (Attraction, Accessibility, Amenitas, Ancilarry Services) ditambah satu lagi Atmosphere (dalam hal ini Sound of Borobudur). Hal ini nanti akan menginspirasi destinasi wisata lain yang ada di Wonderful Indonesia.