Aku agak kecewa, kala itu. Kau mengambil guci yang ada di sudut ruang tamu. Sambil berlari kau lempar kepadaku. Apakah ini sambutan hangatmu, setelah sekian lama kita tak temu. Aku spontan menghindar. Kau peluk anakmu, lalu kau lari lagi ke ruang tengah.
Aku yang masih ingin bertemu denganmu, mengikutimu. Kulihat kau mengunci anakmu di kamarnya. Kau keluar dengan pisau dapur. Entah setan apa yang merasukimu Shinta. Tiba-tiba kau ingin membunuhku. Padahal aku telah membebaskan cinta kita. Rama sudah tiada. Sekarang kau milikku seutuhnya.
Namun nampaknya setan merasuk lebih dalam ke relung jiwamu. Dua kali sabatan pisaumu mengenai pipi dan lenganku. Aku berusaha menyadarkanmu, bahwa kita seharusnya bergembira. Kitalah yang memiliki dunia.
"Kau gila, Rah! Kau gila!" sabatanmu membabi-buta memecah segala yang ada.
Ruang tengahmu berantakan. Piring kau lempar. Guci kau lempar. Bahkan kau coba melempar TV mu. Namun nampaknya kesedihanmu, melemahkanmu. Tapi, tapi kenapa kau harus sedih Shinta. Nampaknya aku harus mendapat jawaban darimu. Kudekati tubuhmu dengan berlari. Lalu kupukul tengkukmu. Kau pingsan seketika.
"Kau gila, Rah! Kenapa kau lakukan ini padaku?" isakmu kala itu. Sengaja aku ikat tanganmu agar kau mau berbicara denganku. Bukankah, kita saling mencintai, tanyaku padamu.
Air matamu kembali merembes. Matamu sembab, seperti sepuluh tahun yang lalu. Tak ada kata maaf atau terima kasih darimu. Hanya cacian dan omong kosong tentang cintamu dengan Rama. Tentang Arjuna buah hati kalian. Atau tentang mitos keabadian cinta Rama-Shinta. Diam! Teriakku. Aku muak. Aku muak, mendengar celotehmu Shinta. Lalu kutusukkan pisauku ke rongga perutmu. Hujan turun dari sudut matamu.
"Biadab, kau Rah! Inikah bentuk cintamu padaku?" kau mengisak menahan lukamu.
Lalu kubopong tubuhmu yang berlumuran darah menuju loteng rumahmu. Ada sedikit senyum tertambat di bibirmu. Barangkali kita bisa menikmati senja bersama lagi Shinta.
"Aku mencintai Rama. Karena aku setia padanya. Jadi inikah tendesi cintamu, Rah?" kau masih mengisak, dengan tubuhmu yang terkulai. Matamu sembab.
"Tapi, terima kasih, Rah. Karena sudah mengabadikan cintaku padanya." Suaramu terpotong, nafasmu yang telah hilang.