Mohon tunggu...
Yakobus
Yakobus Mohon Tunggu... Relawan - Tuhan Penolong Abadi, I become minister

Membela kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Milenial di Era Bonus Demografi dan Keberagaman dalam Menghadapi Tantangan Global

30 Oktober 2018   22:09 Diperbarui: 30 Oktober 2018   22:09 3736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam aspek demografi, jumlah yang besar dan tingkat pendidikan yang lebih baik dari periode sebelumnya menjadi harapan besar untuk generasi ini dalam mendukung kemajuan bangsa. Hal ini tercermin dari bagaimana sikap dan cara pandang kaum milenial terhadap persoalan-persoalan bangsa. Persoalan-persoalan mendasar bangsa yang ada saat ini antara lain reformasi tatanam hukum, tatanan politik, kesenjangan ekonomi, kemiskinan, angka pengangguran, pemerataan layanan kesehatan serta masalah utama daya saing bangsa Indonesia terhadap bangsa lainnya.

Dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar,  generasi milenial dapat menjadi faktor pengubah kondisi kemajuan bangsa. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, generasi milenial mampu tumbuh menjadi pemimpin global telah  terwariskan karakternya sebagai soekarno-soekarno masa kini. Pemimpin Milenial dan Pemimpin Global dengan Pancasila sebagai Ideologi terbuka dan dapat diterima oleh seluruh bangsa sebagai sintesa dari sosialisme dan liberalisme.

Dengan demikian generasi milenial dapat menjadi pilar era bonus demografi guna mendapatkan manfaat dari efek berganda kemajuan di segala bidang. Kepemimpinan generasi milenial di kurun era bonus demografi dapat menjadi faktor pengubah loncatan kemajuan bangsa. Dari negara berkembang menjadi negara maju, menjadi pemimpin di kawasan ASEAN.

Jembatan Keberagaman Indonesia  

Tahun 2017, Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyoroti aspirasi millenial dalam kepemimpinan dan toleransi. Hasil riset tersebut menyebutkan bahwa, sebagian besar generasi millenial mengakses media sosial baik untuk persebaran maupun penyerapan informasi.  

Kelompok millenial cenderung tidak setuju jika ada gagasan mengganti Pancasila dengan ideologi yang berbeda. Aspirasi ketidaksetujuan ini sangat tinggi, yakni sebanyak 90,5 persen, berbanding dengan yang setuju, 9,5 persen. Namun, dalam hal penerimaan terhadap pemimpin yang berbeda agama, generasi millenial cenderung tidak bisa menerima (53,7 persen), sementara yang bisa menerima pemimpin beda agama sebanyak 38,8 persen.

Dari data ini menunjukan masih adanya pemahaman yang sempit tentang toleransi. Berkembangannya pemahaman ini pasca era reformasi yang sebenarnya merupakan bagian antitesa periode sebelumnya. Penerapan nilai-nilai Pancasila menjadi tidak nyata dikarenakan hanya disajikan dalam bentuk teori yang dipelajari, bukan merupakan nilai-nilai keseharian yang bertumbuh dan berkembang di  masyarakat. Persoalan intoleransi dibungkam oleh kekuatan sistem, tanpa lebih dalam untuk mencari titik rentan dari permasalahan intoleransi itu sendiri. Misalnya adanya kesenjangan ekonomi, praktek-praktek korupsi, serta kesetaraan di depan hukum.  

Parameter toleransi dapat diukur dari beberapa aspek antara lain kebijakan pusat dan daerah tentang toleransi, adanya forum  komunikasi antar umat beragama, aktifitas forum komunikasi antar umat beragama, frekuensi konflik fisik antar ummat beragama, frekuensi dialog intra ummat beragama.

Dibandingkan dengan generasi yang lebih tua pada waktu yang relatif sama dalam kehidupan masa muda, generasi millenial telah mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang untuk generasi mereka lebih dari yang lain, termasuk terkait dengan  dengan penghasilan dan kesejahteraan masa depan yang lebih tinggi.

Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih merata, generasi milenial akan tidak mudah dipengaruhi  oleh isu-isu intoleransi. Generasi milenial akan menjadi pilar dan jembatan dalam menghadapi isu intoleransi bersamaan dengan tantangan di era teknologi informasi yang sebetulnya lebih nyata. Era disrupsi mulai mempengaruhi sendi kehidupan masyarakat.   Tingkat  pendidikan yang tinggi, gap antara perubahan yang terjadi dengan pencapaian dari generasi milenial akan tidak terlapau sangat jauh. Generasi milenial mempunyai jalannya sendiri dan membuka kesempatan baru sebagai dampak dari perkembangan teknologi digital.

Survey  Forum Pembaruan Global Ekonomi Dunia  (2018), ada lima puluh persen populasi dunia milenial berusia di bawah 30 tahun. Ini adalah populasi milenial tertinggi dalam sejarah.  Survey tersebut menyebutkan mayoritas orang muda optimis tentang dampak teknologi dan inovasi: 78,6% berpikir teknologi adalah "menciptakan lapangan kerja" sebagai lawan dari "menghancurkan pekerjaan" (21,4%).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun