Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996).
Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa.
Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi, bahkan dapat begejolak secara sosial dan politik apabila ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan ketahanan nasional.
Menurut FAO Agricultural and Development Economics Division (June 2006) tentang "Food Security", ketahanan pangan dimaknai sebagai ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya.
Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.
Ketahanan pangan juga merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidakstabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya.
Penilaian ketahanan dapat dilihat dari kacamata keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko yang dihadapi oleh suatu negara.
Fakta Krisis Makanan
Tidak dapat dipungkiri bahwa hari ini masih banyak orang lapar. Salah satu ancaman serius dan ditakuti oleh umat manusia di muka bumi ini adalah terjadinya kelangkaan akan kecukupan pangan. Kelangkaan pangan ini telah menimbulkan persoalan-persoalan sosial dan politik yang serius.
Di negara-negara Timur Tengah dan Afrika menjadi pengalaman yang berharga. Tingginya harga pangan menjadi salah satu sebab munculnya gerakan reformasi yang radikal. Mozambique adalah salah satu negara contoh yang mengalami persoalan pangan dan berakhir pada ketidakstabilan politik.
Adanya dampak sosial yang cukup memprihatinkan dari meroketnya harga pangan dunia menciptakan kerusuhan-kerusuhan horizontal dan sekaligus mengancam stabilitas keamanan negara itu.
Tuntutan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin mahal mendorong permintaan akan peningkatan pendapatan demi bertahan dalam situasi ekonomi dan politik yang sulit.
Berdasarkan laporan Food Security Information Network (FSIN), 2017, kemungkinan krisis pangan dunia semakin memburuk, dan tampaknya keadaan ini akan bertambah parah di sejumlah tempat di dunia, khususnya di beberapa negara yang ketahanan pangannya rendah, sehingga berpotensi menghadapi tingginya risiko kelaparan.
Wilayah dan negara yang disinyalir memiliki potensi kelaparan yang tinggi antara lain di beberapa wilayah di Timur Laut Nigeria, Somalia, Sudan Selatan dan Yemen. Penyebab kelaparan di beberapa negara ini yakni karena adanya konflik bersenjata, kekeringan, buruknya situasi ekonomi makro, dan politik.
Sebagaimana yang diumumkan FSIN, bahwa terdapat 108 juta orang menghadapi tingkat kritis kerawanan pangan pada 2016, dan terus meningkat secara drastis dari angka di tahun sebelumnya yang tercatat sekitar hanya 80 juta orang. Penyebaran daerah rawan pangan akan terjadi di beberapa wilayah Asia lainnya menyusul Irak, Suriah, Malawi dan Zimbabwe.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Organisasi Pangan Dunia (FAO), diestimasi sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan. Penyebab utamanya adalah kemiskinan.
Saat ini, Indonesia juga dinilai turut menghadapi hal yang sama seperti negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak penduduk bangsa kita yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya.
Secara kasat mata di wilayah bagian timur Indonesia, seperti Papua, NTT dan Maluku dan sebagian Kalimantan dihadapkan pada masalah ketahanan pangan yang serius.
Dilema Pangan Indonesia
Estimasi adanya 20 juta atau 19,4 juta orang di Indonesia yang kelaparan setiap harinya menarik untuk menjadi atensi agar dapat diteliti lebih jauh sebab musabab, sekaligus dapat memastikan langkah-langkah ideal yang dapat menjadi solusi bagi aksi pemerintah di masa depan.
Meskipun Indonesia dinilai berhasil menurunkan angka kelaparan hingga setengahnya, tapi masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penduduk yang kini tidak lagi memiliki makanan yang cukup.
Seperti diketahui, presentase penduduk Indonesia yang kelaparan, turun dari 19,7 persen di tahun 1990-1992, menjadi hanya 7,9 persen di tahun 2014-2016. Faktor pertumbuhan ekonomi yang pesat cukup membantu Indonesia menurunkan angka kelaparan hingga 50 persen.
Kondisi ini tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena Indonesia masih dinilai lambat dalam mengatasi pemenuhan kebutuhan pangan dengan meningkatkan pasokan melalui peningkatan produksi beras dan mengembangkan tanaman bernilai lebih tinggi.
Karena itu, fokus pemerintah pada pasokan pangan nasional harus mengacu pada pemahaman yang lebih modern tentang isu ketahanan pangan. Ketahanan pangan itu sendiri jangan hanya dimaknai sebagai ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.
Sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu (keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu) dan pemanfaatan (keamanan pangan dan manfaat gizi) untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan.
Konsepsi ketahanan atau yang lazim disebut "keamanan pangan/food security" ini menunjukkan bahwa solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik.
Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan, dan penurunan harga.
Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan pada dasarnya dapat membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah.
Disinilah kemudian muncul dilema dalam mengatasi kondisi krisis makanan, karena banyaknya kepentingan dan perbedaan pandangan tentang pentingnya atau tidak pentingnya impor untuk mencapai ketahanan pangan.
Sebagian masyarakat memiliki pemahaman bahwa impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan dan merugikan para petani, atau sebaliknya, karena tidak adanya alternatif tambahan impor akan menimbulkan potensi terjadinya krisis makanan.
Dalam upaya mengaktualisasikan konsep ketahanan pangan sungguh dilematis, karena sangat terkait dengan dinamika politik domestik, apalagi menjelang pemilu 2019.
Secara faktual, bila kita mencermati undang-undang yang ada (lihat Perpres Nomor 48 Tahun 2016), menetapkan dan mencatat bahwa impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup, sehingga kebijakan impor sifatnya sangat situasional dan dibutuhkan pertimbangan yang matang.
Pada dasarnya yang harus dipahami oleh masyarakat luas adalah tidak ada pemerintahan yang berhasil dalam merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia.
Swasembada vs Impor Beras
Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial dan stabilitas politik.
Pentingnya swasembada pangan menjadi keniscayaan. Artinya kita harus mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimiliki dan pengetahuan lebih yang dapat menopang kegiatan ekonomi.
Hari ini, isu swasembada menarik untuk dibicarakan karena Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris di samping potensi maritim. Lajunya pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras.
Sementara itu, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa risiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi bahkan telah membuat kondisi produksi semakin buruk, sehingga sangat mungkin terjadi suatu periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target.
Artinya, pada saat tertentu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Suka atau tidak suka, jelas kiranya jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras semata, tetapi swasembada pangan. Pada saatnya penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan untuk mengatasi masalah nasional ini.
Dihadapkan pada isu impor beras dalam mengatasi ketahanan pangan, tentu menjadi penilaian tersendiri bagi pemerintah karena dianggap gagal mewujudkan swasembada. Ini juga dimaknai sebagai bentuk kegagalan pemerintahan di bidang pertanian.
Akhir-akhir ini, isu yang mengemuka dan menjadi polemik mengenai keterbatasan dan ketersediaan beras di gudang Bulog yang tinggal 590.000 ton, yang dinilai jauh dari batas aman stok beras nasional yaitu 2 juta ton. Tidak mengherankan, ketika Bulog tidak mampu menyerap beras dari petani maka pasokan beras ke masyarakat juga akan ikut terganggu.
Sekalipun pemerintah mencari solusi untuk mengatasi masalah penyerapan beras oleh Bulog dengan menaikkan harga pembelian gabah maupun beras, namun tetap saja stok beras tidak memadai, sehingga alternatif impor tetap menjadi pilihan. Sungguh ironis negeri ini.
Harapan dan Konsistensi UU
Dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety).
Kedaulatan pangan menjadi harapan dan hak semua segenap bangsa dan negara dan untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang mampu memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Wujud kemandirian ini tercermin pada kemampuan negara dan bangsa kita dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Untuk itu, dalam menyikapi urusan pangan ini, pemerintah harus mengevaluasi tujuan dan sasaran swasembada pangan itu sendiri. Kita harus merujuk pada kemampuan bangsa ini untuk menjamin kebutuhan pangan seluruh penduduk secara proporsional (cukup).
Konsep ketahanan pangan dan swasembada, serta pemenuhan kebutuhan pangan tidak selalu didasarkan dari sisi impor, melainkan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dan apabila terjadi krisis, aksi impor hanya bersifat "last resort".
Selamat Hari Tani Nasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H