Kondisi ini tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena Indonesia masih dinilai lambat dalam mengatasi pemenuhan kebutuhan pangan dengan meningkatkan pasokan melalui peningkatan produksi beras dan mengembangkan tanaman bernilai lebih tinggi.
Karena itu, fokus pemerintah pada pasokan pangan nasional harus mengacu pada pemahaman yang lebih modern tentang isu ketahanan pangan. Ketahanan pangan itu sendiri jangan hanya dimaknai sebagai ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.
Sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu (keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu) dan pemanfaatan (keamanan pangan dan manfaat gizi) untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan.
Konsepsi ketahanan atau yang lazim disebut "keamanan pangan/food security" ini menunjukkan bahwa solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik.
Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan, dan penurunan harga.
Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan pada dasarnya dapat membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah.
Disinilah kemudian muncul dilema dalam mengatasi kondisi krisis makanan, karena banyaknya kepentingan dan perbedaan pandangan tentang pentingnya atau tidak pentingnya impor untuk mencapai ketahanan pangan.
Sebagian masyarakat memiliki pemahaman bahwa impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan dan merugikan para petani, atau sebaliknya, karena tidak adanya alternatif tambahan impor akan menimbulkan potensi terjadinya krisis makanan.
Dalam upaya mengaktualisasikan konsep ketahanan pangan sungguh dilematis, karena sangat terkait dengan dinamika politik domestik, apalagi menjelang pemilu 2019.
Secara faktual, bila kita mencermati undang-undang yang ada (lihat Perpres Nomor 48 Tahun 2016), menetapkan dan mencatat bahwa impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup, sehingga kebijakan impor sifatnya sangat situasional dan dibutuhkan pertimbangan yang matang.
Pada dasarnya yang harus dipahami oleh masyarakat luas adalah tidak ada pemerintahan yang berhasil dalam merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia.