Wajar bilamana rasa kepercayaan masyarakat kecil terhadap mereka kurang dan harus saling sikut untuk sekadar mendapatkan bantuan. Tentu yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana pemerintah memastikan (andai) penyebaran bantuan ini sampai kepada mereka warga yang benar-benar membutuhkan dan apa sanksi tegas kepada mereka yang mengambil keuntungan dari musibah ini?
Dilihat dari satu sisi diatas saja, memang bisa dikatakan Indonesia masih tertinggal jauh dengan China. Bahwasanya benar negara ini boleh saja memiliki prosedural tanggap bencana yang terencana, akan tetapi secara tindak lanjut di lapangan bahwa prosedural tersebut masih menemui kendala di sini dan di situ-nya.Â
Pengawasan penuh dibutuhkan, akan tetapi tetap tidak bisa mencegah timbulnya rasa curiga maupun prasangka buruk kepada para pemangku kepentingan didalamnya. Alhasil warga bergerak sendiri-sendiri mencari cara mendapatkan pertolongan agar dapat bertahan di bumi pertiwi ini.Â
Baik infrastruktur dan pemanfaatan teknologi guna produktivitas di negeri ini pun masih sangat kurang, warga lebih berfokus kepada teknologi sebagai sarana penunjang hiburan. Tak heran bilamana datang musibah seperti ini semua nampak kewalahan.
Sekilas memang antipati sebagian publik terhadap istilah aseng (Komunis) dan asing (Kapitalis) seringkali terdengar. Mereka berteriak lantang dengan dalih ideologi Pancasila terancam dan kepentingan di balik layar.
Namun hal ini kerap menjadi pertanyaan mengapa justru negeri ini masih saja tertinggal. Apakah dengan melakukan sesuatu yang aseng maupun asing lakukan sebagai aib besar bagi bangsa ini, boleh jadi sebagian orang berpikiran demikian.Â
Ataukah memang sebagian orang-orang yang mempeributkannya itu lupa dan terlena bahwasanya yang terpenting dari semua itu ialah tak cukup hanya ber-ideologi semata namun menunjukkan dan mempertahankan jati diri bangsa sebagai bangsa yang besar. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.