Jakarta selalu punya cerita. Setelah RAPBD DKI Jakarta tahun 2020 menuai kontroversi akibat nilai fantastis sub-sub anggaran yang nominalnya tidak masuk akal seperti anggaran untuk influencer sebesar Rp 5 miliar, pembangunan jalur sepeda Rp 73,7 miliar, pembelian bolpoin Rp 124 miliar, dan pembelian komputer Rp 121 miliar.
Dikutip dari laman Kompas.com, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam Rapat Pimpinan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di trotoar Thamrin-Sudirman memerintahkan pencopotan atap Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di antara Indofood Tower dan Menara Astra. Anies mengungkapkan pencopotan atap JPO tersebut bertujuan agar menjadi lokasi yang bagus untuk masyarakat berfoto.
Entah apa yang ada dibenak Anies Baswedan, namun jelas prihal pencopotan atap JPO ini menjadi perbincangan publik karena dinilai sesuatu yang tidak lumrah dilakukan.Â
Untuk itu kali ini Penulis akan mengkajinya lebih lanjut prihal apa yang jadi pokok permasalahan dari keputusan Anies Baswedan tersebut.
Sebelumnya mari kita bahas apa yang dimaksud dengan JPO. Jembatan Penyeberangan Orang atau JPO adalah salah satu fasilitas umum yang diperuntukkan bagi pejalan kaki umumnya maupun mereka penyandang disabilitas selain 3 fasilitas lainnya yaitu Pelican Cross, Zebra Cross, dan Terowongan.
Secara fungsi keberadaan JPO adalah sebagai fasilitas umum dimana pejalan kaki dapat bertolak dari satu poin ke satu poin lain (menyeberang) dengan aman sehingga tidak mengganggu aktivitas pengguna jalan (kendaraan bermotor).
Untuk mengakomodir hal tersebut maka tidak boleh membangun JPO sembarangan. Dikutip dari Buku "Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Di Kawasan Perkotaan" oleh Departemen Pekerjaan Umum, pembangunan JPO disarankan memenuhi beberapa ketentuan, diantaranya :
1. Bila fasilitas penyeberangan dengan menggunakan Zebra Cross dan Pelikan
Cross sudah mengganggu lalu lintas yang ada.
2. Pada ruas jalan dimana frekuensi terjadinya kecelakaan yang melibatkan
pejalan kaki cukup tinggi.
3. Pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dan arus pejalan kaki yang
tinggi.
Dalam cakupan buku diatas maupun UU no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan setelah Penulis telusuri memang tidak terdapat acuan seperti apa rupa atau wujud pasti sebuah JPO.
Merujuk hal tersebut maka keputusan pencopotan atap JPO oleh Anies Baswedan dapat dikatakan tidak ada peraturan yang dilanggar maupun bukan sesuatu hal yang dilarang.Â
Namun secara estetika sebuah JPO pada umumnya, apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan menggambarkan ia mengesampingkan elemen penting dari sebuah fasilitas umum dimana tidak hanya harus mengedepankan keamanan tetapi melingkupi kenyamanan bagi pengguna (pejalan kaki).