SanBha
Â
Layaknya hari yang lain,
Dunia hadir sebagai dirinya sendiri
sebagian terang, temaram, dan juga terang yang gelap
di terang tak bertabir
Semua dapat nampak
Menghidangkan  semua yang dapat di beri, di reguk, di resapi
Di sisi temaramnya,
Semua insan bertanya
.... tak berjawab
Di terang yang pekat,Â
merangkak mengais puji nyaris tanpa caci
dalam tegak menggontai mendapati diri
mengganti kulit ari,
namun  melepas arti
sebuah hati tanpa sanubari
menancapkan tonggak di lahan  kering  obsesif membangun prasasti
terukir kata bahwa ini hakiki
Tuk bepekik
Bahana suara di sana-sini
Dalam tafsir untai ego takdirnya sendiri
Menari mesra dengan bala sembari bersenggama  dengan Kalatida
Tuk HadirÂ
Mencoba menipu Tuhan Sang Asali
Bukankah hati dari Ilahi
Lewat lidah kami yang tak pernah pupus-memati
Meski sujud kami penuh tanpa seluruh
jiwa murni abadi dalam ruh, meski  fana namun dalam balut essensi  keabadian
tapi  adakah itu  di nampakkan ?Â
Ini 'inalillaahi'
Efek makhluk Adi kodrati
Kremasi mendebu dalam bara agni untuk dirinya sendiri
Demi sebuah gores prasasti agung di pentas panggung
Yang pada setiap babaknya semua yang semu hadir maha sempurna dalam balutan kulit yang nyata
Penonton di atas balkon riuh bersuka ria,  sebagian  tertawa, sebagian  lagi terpana, namun dari yang banyak itu, ... sisanya meregang nyawa
Namun suara alunan  orchestra dan pemain pentas  tetap membahanaÂ
Sambil meregang dalam kematian dingin di dasar  samudera kebodohan
Karena  Kemanusiaan kitakah ?
- hingga tak bisa mencuci Karang Debu yang berkarat menggerogoti dinding Kalbu, 9 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H