Mohon tunggu...
Sania Fatihah
Sania Fatihah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa STEI SEBI

Selanjutnya

Tutup

Financial

Krisis Ekonomi Global dan Tantangan Manajemen Risiko Pasar yang Perlu Dihadapi Perbankan Syariah

25 Agustus 2022   20:23 Diperbarui: 25 Agustus 2022   20:41 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pada hari selasa (26/7/2022), IMF menyatakan bahwa perekonomian global terus memburuk dengan cepat. Sebagian besar kontraksi disebabkan oleh melemahnya ekonomi China & Rusia. 

Sektor-sektor perekonomian terbesar di dunia juga dilanda inflasi tinggi sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Sosial ekonomi dunia memasuki era ketidakpastian. Krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 belum terselesaikan dan banyak negara berkembang yang terancam oleh utang.

Meskipun begitu, ekonomi di Indonesia dapat tergolong resilient. Pengurangan jumlah sumber daya yang disebabkan oleh krisis ekonomi global masih menguntungkan bagi Indonesia karena kegiatan ekspor komoditas utama terus berjalan dengan baik. Tercatat oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), proyeksi pertumbuhan Indonesia meningkat dari 5% menjadi 5,2%.

Indonesia sudah melakukan pemulihan dari dampak pandemi COVID-19. Banyak lapangan kerja yang mulai dibuka kembali sehingga masyarakat bisa perlahan menghasilkan uang untuk biaya hidup sehari-hari. 

Hal tersebut juga mempengaruhi peningkatan kredit sektor swasta. Semakin banyak jumlah uang beredar berarti semakin banyak pihak yang melakukan aktivitas investasi.

Dapatkah Indonesia berpangku tangan dengan kondisi perekonomian sekarang? Tentu tidak. Krisis ekonomi masih memberikan dampak yang signifikan untuk seluruh negara di dunia, termasuk negara-negara di Asia Tenggara. 

Terlepas dari tersedianya lapangan kerja, upah buruh pabrik atau pekerja kecil lainnya tidak cukup untuk mengejar kenaikan harga komoditas-komoditas pokok dalam beberapa tahun terakhir. 

Ketergantungan terhadap komoditas hasil impor juga menyebabkan Indonesia terancam mengalami krisis bahan pangan. Pada tahun 2022, data Kementrian Keuangan menyatakan bahwa subsidi listrik dan BBM meningkat sebanyak 48% dari tahun sebelumnya. Cepat atau lambat, pertumbuhan ekonomi akan terhambat atau bahkan menurun.

Hambatan serta berbagai dampak dari krisis ekonomi bukanlah hal yang mudah diatasi. Diperlukan analisis dan perencanaan yang konkret agar bank syariah tetap dapat berdiri dengan kokoh. 

Dari sinilah manajemen risiko menjadi hal yang krusial. Manajemen risiko sendiri memiliki berbagai aspek, seperti risiko pasar, risiko pembiayaan, risiko operasional, risiko likuditas, risiko strategi, risiko imbal hasil, dan lain sebagainya.

Risiko pasar merupakan risiko yang disebabkan oleh pergerakan harga pasar. Risiko pasar dapat menimbulkan kerugian besar di sebuah lembaga keuangan. 

Penyebab risiko pasar terbesar adalah terjadinya inflasi. ADB memperkirakan inflasi di Indonesia meningkat dari 3,7% menjadi 4%. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan suku bunga yang naik, yang kemudian membuat hambatan signifikan untuk pertumbuhan ekonomi.

Meningkatnya suku bunga akan mempengaruhi seluruh kegiatan investasi di industri perbankan. Bahkan untuk bank syariah, yang menggunakan sistem bagi hasil, naiknya suku bunga menjadi hambatan tersendiri karena masyarakat akan lebih memilih untuk mengajukan pembiayaan kepada bank konvensional yang menawarkan bunga besar. Sehingga kenaikan inflasi secara langsung berpengaruh signifikan kepada bank-bank syariah di Indonesia.

Pada perbankan syariah, sensitivitas terhadap risiko pasar dapat diukur oleh ketidakstabilan harga komoditas, nilai tukar atau kurs, dan nilai ekuitas. Dari alat-alat ukur tersebut, tantangan bagi manajemen risiko perbankan syariah dapat ditelusuri satu-persatu.

Risiko harga komoditas merupakan faktor yang paling dominan dalam penentuan risiko pasar. Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, beberapa komoditas mengalami lonjakan harga yang signifikan pada 2021. 

Dari cabe rawit yang naik sebesar 39%, sampai minyak goreng yang naik sebesar 34%. Kondisi ini dapat menimbulkan ketidakstabilan bagi nilai asset fisik yang dimiliki oleh bank syariah.

Tidak seperti bank konvensional, beberapa transaksi di bank syariah mengharuskan bank menyimpan aset komoditas di dalam inventaris. Contohnya seperti transaksi akad salam, sukuk, istishna, serta ijarah. 

Perubahan terhadap harga apapun dapat menjadi bagian dari risiko karena selalu hadirnya kemungkinan bahwa harga pasar terhadap aset dapat berubah dari apa yang sudah diperkirakan atau diperhitungkan oleh bank syariah.

Selanjutnya, ada faktor nilai tukar atau kenaikan kurs yang tampaknya tidak jarang menjadi momok ekonomi negara karena gagal dihindari oleh mata uang rupiah. Berdasarkan data Bloomberg pada hari Senin (4/7/2022), nilai rupiah menurun 29 poin atau 0,19%. 

Penurunan ini menjadikan rupiah bernilai Rp.14.972/1 USD.  Risiko nilai tukar kemudian terjadi karena adanya fluktuasi di antara jeda waktu saat melakukan tahapan transaksi, seperti antara waktu pembelian dan penjualan. 

Pada setiap penggunaan akad bank syariah dalam mata uang asing, bank akan terekspos pada risiko nilai tukar. Pada 2017, kurs rupiah belum berpengaruh secara signifikan terhadap transaksi pembiayaan di perbankan syariah Indonesia (Rifai et al., 2017). Namun dengan kenaikan kurs yang terus-menerus, risiko nilai tukar menjadi semakin sulit dihindari.

Faktor lainnya adalah risiko nilai ekuitas, yang dihadapi bank saat nilai pendapatan yang diharapkan dari sebuah investasi menjadi turun. Risiko dapat terjadi baik dalam kontrak bagi hasil ataupun investasi secara tidak langsung di pasar modal. 

Seperti pada penelitian yang dilakukan di Bank Syariah Mandiri (BSM), dinyatakan bahwa jumlah bagi hasil memiliki pengaruh signifikan pada tingkat transaksi atau deposito akad mudharabah (Nisa Lidya Muliawati, 2015). Pengaruh ini disebabkan oleh fluktuasi pada pasar dan siklus bisnis dapat mempengaruhi harga sebuah aset pada pasar finansial secara luas.

Dalam risiko nilai ekuitas, bank syariah menghadapi risiko yang sama dengan bank konvensional walaupun bank konvensional dapat melindungi nilai ekuitas mereka dengan melakukan transaksi forward. 

Forward memperbolehkan nasabah dan bank melakukan penjualan atau pembelian valuta asing dalam jumlah dan harga tertentu, kemudian penerimaan atau penyerahan dilakukan 2 hari setelah tanggal transaksi yang dijanjikan. 

Bank syariah tidak bisa melakukan transaksi forward karena adanya unsur riba, sehingga manajemen risiko bank syariah perlu mengelola risiko nilai ekuitas dengan lebih dalam. 

Saat ini, industri perbankan syariah dihadapkan oleh risiko pasar dari berbagai aspek. Risiko harga komoditas, nilai tukar, dan nilai ekuitas merupakan bagian dari dampak krisis ekonomi global. Kurangnya lindungan nilai dan produk yang terstuktur dengan hukum syariah menjadi tantangan tersendiri bagi bank syariah. Untuk meminimalkan risiko pasar, bank syariah harus bergerak untuk menjadi pembuat pasar yang aktif.

Secara garis besar, risiko pasar dapat dibagi menjadi dua, yaitu risiko murni dan risiko spekulatif. Contoh dari risiko murni adalah bencana alam, kerusuhan, atau perang. 

Risiko murni merupakan risiko yang tidak dapat dihindari dan bank akan mengalami kerugian secara pasti. Sedangkan risiko spekulatif terjadi saat hasil dari kegiatan bank tidak pasti. Bentuk hasil kegiatan dapat berupa keuntungan ataupun kerugian, tergantung kepada aset tertentu yang dimiliki bank.

Manajemen risiko dari bank syariah perlu mengidentifikasi risiko pasar spekulatif sedini mungkin. Ada berbagai pendekatan untuk mengukur risiko pasar, yaitu Mark-to-Market, Mark-to-Model, Value at Risk (VaR), dan Risk-Adjusted Return on Capital (RAROC). Hambatan terbesar dari mengukur risiko pasar bank syariah adalah kurangnya model atau instrumen untuk mengelola risiko sesuai dengan karakteristiknya. 

Bebagai literatur yang dibuat pada masa lalu hanya mengacu pada model dan instrumen bank konvensional sehingga bank syariah memerlukan beberapa usaha lebih untuk menyusun alat ukur risiko pasar sesuai dengan prinsip syariah. Ditambah lagi dengan ketidakhadiran standarisasi pengukuran risiko pasar bank syariah yang diterima secara global.

Terlepas dari keterbatasan, perbankan syariah masih perlu melakukan identifikasi dan pengukuran risiko pasar. Perhitungan yang dilakukan pihak manajemen risiko dapat membantu bank syariah melakukan proses mitigasi risiko yang sesuai dengan kondisi. Umumnya, bank syariah akan mengimplementasi mitigasi risiko dengan melakukan metode jaringan, mengetatkan sekuritas,  menerapkan kebijakan batas pemberian dana serta kebijakan batas kerugian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun