***
Hari itu setelah pulang kebaktian pagi Natal, aku menjenguk Tina. Dia melempar mukaku dengan segumpalan kertas coret-coret yang nyaris cabik. Kubuka dan kubaca, sebuah puisi...
“Siapa Yang Tak Terobsesi Candu?”
Kuracik cinta selayak candu
yang kutagih-tagih sampai berderai
yang membuatku menggelapar setiap gagal kureguk
yang kan kukejar meski ku, tinggal sebuah nama
candu yang mengikatku
melepas semua takutku
mempersembahkanku di singgasana
kenikmatan paling raga
kutiti indah
kugumul nikmat
kusentuh terang
kuselam gelap
kuakrab asing
kutantang liar
kupecah nirwana
tapi tak kutemu,
sebuah puas
lalu kuracik candu lain
jauh bersenyawa dari cinta
ah, sesederhana itu
Kusumpahi kau putri-putri Bumi
jangan bangkitkan cinta sebelum diingininya!
Kuremuk kembali kertas itu. Nyaris bersamaan dengan remuknya dokumen tuntutan cerai Bono. Separuh jiwaku melayang membayangkan terpisah dari Bono. Tapi aku rela asal tubuh mungil itu bersedia kudekap lagi.
Cintakah ini? Obsesikah? Ya Yesus... Tolong putihkan kutukan semerah kirmizi ini. Aku telah menjadi perempuan yang mati-matian mengingini kasihnya.
END_