Mohon tunggu...
Sang Pengelana
Sang Pengelana Mohon Tunggu... -

Berkelana dari waktu ke waktu untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. Mengejar impian tak akan pernah berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semut di Ujung Pelangi Terlihat, Gajah di Pelupuk Mata Tak Nampak

20 Juni 2016   00:58 Diperbarui: 20 Juni 2016   01:04 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: twitter.com/dpbbm_lucu

Sangat gampang bagi orang untuk mengritik orang lain. Hal itu saya hadapi teramat sering, apalagi dalam profesi sebagai guru. 

Kritik yang membangun tentu saja sangat saya harapkan. Hanya saja, lebih banyak kritik-kritik ‘sampah’ daripada kritik yang membangun. 

Dan biasanya kritik-kritik itu disampaikan dibelakang punggung saya!

Istilah Nginggris nya : ngerumpi tanpa sepengetahuan saya.

“Kenapa sih dia tidak selesaikan (kuliahnya)?”

“Kenapa sih dia memutuskan berhenti dari pekerjaannya? Apa dia sudah gila?”

“Kenapa sih dia selalu tidak tuntas dalam mengerjakan sesuatu?”

“Kenapa sih dia lambat memutuskan (untuk menikah)? Apa sih yang dipikirkan lagi?”

Tentu saja, ungkapan-ungkapan ini bukan dimuntahkan dari para orangtua murid. Boro-boro mereka tahu saya. Kenal nama saya saja mungkin tidak!

Yang membuat saya jengkel adalah kalimat-kalimat diatas terlontar dari mulut seorang kawan yang sudah saya anggap saudara, yang pernah satu atap bersama, tidur di satu kamar, bahkan makan semeja, tapi ternyata dia tidak mengerti apa yang ada di pikiran saya.

Dan yang selalu membuat saya jengkel adalah ‘kalimat sakti’ dia.

“Kalau saya bisa, pasti kamu juga bisa.”

Dia lupa satu hal, kalau setiap orang unik adanya dan setiap orang punya masalah masing-masing. Bahkan kembar identik sekalipun tidak mempunyai karakter yang sama.

Belum lagi dari segi fisik.

Apabila mengatakan bisa dalam hal ini bisa melihat, maka kamu juga bisa melihat, sedangkan lawan bicara seorang yang buta, tentu kalimat saya bisa, maka kamu juga bisa tidaklah cocok.

Bisa kita bayangkan apabila dunia ini isinya cuma guru saja, atau dokter saja, atau insinyur saja, pastilah sangat membosankan!

Dengan berbagai profesi, pastilah hidup akan penuh warna.

Dalam hal ini, saya sebenarnya ingin menjawab empat pertanyaan dari teman saya, sebut saja Paijo (bukan nama sebenarnya) yang dulunya saya anggap sahabat, tapi setelah dia melontarkan pertanyaan diatas, saya sudah tidak menganggapnya sahabat lagi. 

Saya sekarang cuma menganggapnya sebagai teman biasa saja.

Apalagi dia melontarkan ke teman saya tanpa sepengetahuan saya, yang juga teman dia dulu di satu atap yang sama, Randi (juga bukan nama sebenarnya).

Randi lalu mengutarakan ke saya perihal empat pertanyaan dari Paijo.

Empat pertanyaan itu adalah:

  1. “Kenapa sih dia tidak selesaikan (kuliahnya)?”

  1. “Kenapa sih dia memutuskan berhenti dari pekerjaannya? Apa dia sudah gila?”

  1. “Kenapa sih dia selalu tidak tuntas dalam mengerjakan sesuatu?”

  1. “Kenapa sih dia lambat memutuskan (untuk menikah)? Apa sih yang dipikirkan lagi?”

Marilah kita bahas satu per satu.

Pertama, “Kenapa sih dia tidak selesaikan (kuliahnya)?”

Saya tidak selesai kuliah di Universitas yang pertama, karena masalah keluarga. Tak perlu membeberkan masalah itu, karena keluarga yang dikaitkan dalam hal ini. 

Saya tidak menyalahkan keluarga saya. Saya hanya menyalahkan diri saya sendiri, kenapa dulu, di awal semester satu, saya tidak mengambil keputusan berani untuk stop saja dan bekerja, karena kuliah bagi saya sangatlah membosankan.

Dosen tidak bergairah dalam mengajar. Sepuluh dosen yang ada, paling hanya satu atau dua yang bagus dan berdedikasi dalam mengajar (Dalam hal ini, saya tidak menggeneralisir semua dosen di Indonesia seperti itu. Ini dosen-dosen yang kebetulan seperti itu dan ada di prodi di fakultas di universitas pertama tempat saya menimba ilmu dulu :) )

Tapi memang saat itu, saya masih belum dewasa.

OD, Out Dewe, itulah yang saya pilih.

Kedewasaan mulai terbina, setelah saya memutuskan untuk bekerja, keluar dari rumah kakak saya dan mulai tinggal di indekos. Di situlah saya mulai bisa mencerna baik dan buruk. 

Mengelola keuangan, karena gaji dari mengajar di kursus dan sekolah tidaklah berlimpah. Les privat pun tidak banyak.

Saya pun kuliah lagi di universitas lain, dan lulus sampai strata 1. Masuk koran dengan predikat cumlaude dan ipk tertinggi di antara lulusan sarjana fakultas lain di tahun 2010. 

Sebelumnya di tahun di tahun 2006 juga berpredikat cumlaude dan ipk tertinggi di prodi diploma tiga pendidikan bahasa Inggris. 

Jadi,intinya Paijo tidak tahu menahu kalau saya sudah menyelesaikan tahapan sarjana yang juga sudah dia dapat. Dengan adanya artikel ini, saya ingin menyanggah pertanyaan dia yang mendiskreditkan saya sebagai orang yang lemah dalam pendirian. 

Saya sudah membuktikan kalau saya bertanggungjawab pada orangtua saya, meskipun ijasah tidak berarti apa-apa bagi saya, kalau ujung-ujungnya cari pekerjaan, bukan menciptakan lapangan kerja, paling tidak menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri :).

Kedua, “Kenapa sih dia memutuskan berhenti dari pekerjaannya? Apa dia sudah gila?”

Keputusan yang susah, tapi ini masalah prinsip. Paijo, teman saya itu, tidak akan paham kalau saya jelaskan, karena saya toh sudah menjelaskan pada orang-orang lain, tapi mereka pun tak mengerti. 

Saya jadi malas menjelaskan pada orang lain kenapa saya tidak melanjutkan pekerjaan saya di sekolah, yang menjanjikan diangkat jadi pegawai negeri!

Tapi untuk itu, saya harus melakukan sesuatu : Saya harus berbohong tentang masa terhitung masa tugas (TMT) saya, yang mana sangat bertentangan dengan hati nurani saya.

Itulah yang saya tidak mau lakukan. 

Daripada mendapat berkat yang tidak halal, lebih baik resign!

Ketiga, “Kenapa sih dia selalu tidak tuntas dalam mengerjakan sesuatu?”

Ini juga satu ungkapan dari teman saya itu yang ‘sok tahu’ tentang saya.

Seakan-akan, segala pekerjaan yang dia kerjakan tuntas semuanya.

Saya tak perlu menjelaskan pada dia apa saja prestasi yang sudah saya capai, apa saja pekerjaan gemilang yang sudah saya gapai.

Karena toh, saya tak pernah minta bantuan dia, dan juga terlebih lagi, dia tidak pernah memberikan sumbangsih dalam bentuk dana sekalipun. Doa? Saya juga ragukan kalau dia mendoakan saya.

Keempat dan terakhir, “Kenapa sih dia lambat memutuskan (untuk menikah)? Apa sih yang dipikirkan lagi?”

Saya menganut prinsip, menikah sampai maut memisahkan adalah harga mati. Mungkin itulah sebabnya kenapa beberapa orang terlambat menikah, karena mencari pasangan yang sepadan menurut ‘ukuran mereka’, namun akhirnya menikah dengan yang tidak seiman.

Saya tidak menyalahkan mereka yang menempuh cara itu. Mengenai hal itu, itulah pilihan mereka.

Saya merasa tidak punya kepentingan untuk menghakimi mereka-mereka tentang pilihan mereka untuk menikah dengan yang tidak seiman dan juga pindah agama.

Saya kira Paijo, teman saya itu, dulu juga tahu susahnya mencari pasangan hidup. 

Rupanya, setelah punya pasangan, Paijo lupa akan pengalaman pahitnya dulu, sehingga keputusan saya untuk sendiri dulu saat ini mengherankan dia.

Ini adalah pilihan saya. Tidak ada sangkut pautnya dengan dia.

Toh, setelah menikah, bukan dia juga yang menafkahi hidup saya dan keluarga.

Yang jelas, rencana saya menikah bukan dalam waktu dekat ini (tanggal persisnya ada dalam buku impian saya. Rahasia :))

Empat pertanyaan sudah saya beberkan, beserta dengan jawabannya. 

Nilai moral yang dapat dipetik disini, sesuai dengan judul dan gambar-gambar di awal-akhir artikel adalah:

Pertama, Tuhan menentukan jalan kita, kita yang jalanin jalan-jalan tersebut, dan orang-orang lain tak sepatutnya menghakimi atau mengomentari.

Karena mereka tidak tahu kesulitannya sama tidak dengan yang mereka hadapi sebelumnya.

Jadi lebih baik diam saja :), dan berusaha memahami cara berpikir orang lain, karena orang lain itu bukan kita :)

Sumber gambar : instagram @rajaparodi
Sumber gambar : instagram @rajaparodi
Kedua, mau kita bener atau salah, orang nyinyir nggak akan berhenti nyinyir. Cuekin aja.

Entah, apakah memang benar David Bekham berkata seperti itu, namun saya rasa kalimat itu benar adanya dalam kehidupan ini.

Daripada mikirin masalah orang lain, lebih baik kita pikirkan masa depan kita sendiri masing-masing.

Ibarat pepatah mengatakan, “Biarpun anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”

sumber gambar : Instagram @motivatweet
sumber gambar : Instagram @motivatweet
Ketiga, be a good listener, jadilah pendengar yang baik.

Banyak orang terlalu mengagungkan jadi pembicara yang baik.

Itu tidak salah, tapi alangkah lebih baiknya latih dulu keahlian mendengar. Dengan begitu, berbicara pun jadi didengar orang :).

Kiranya sekelumit keluh kesah saya ini dibaca oleh yang bersangkutan. Kalaupun tidak, paling tidak bisa sharing pengalaman bagi rekan-rekan yang mengalami pengalaman yang sama seperti saya :).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun