Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Cemara Kandang

9 Oktober 2020   21:11 Diperbarui: 9 Oktober 2020   21:13 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada pembenaran dari cerita yang dibawa burung-burung Manyar.

Keras hati Sobur yang membawanya sampai detik ini. Selama 5 tahun Sobur kuliah, kesucian tempat menimba ilmu itu musnah. Kesucian itu tenggelam akan adanya para pendosa licik diperguruan tinggi. Apalagi kampusnya berada di jantung budaya Jawa, Sangat dekat dengan kisah kesucian gunung Lawu. Sangat kontras adanya. Para pencari kebenaran selalu terbunuh para pendosa.

Hingga detik ini dia dibawa kekalutan hati. Baginya, kebaikan hanya kiasan keburukan. Keburukan itulah hakekat adanya dunia. Sampai pembenaran kesimpulan Sobur, makanya manusia diciptakan dari air mani, yang lelaki biadab tebar di pasar kenikmatan itu. Memang benar manusia itu laknat. Begitulah keyakinan Sobur semenjak dia membantah Tuhan.

Tetiba, Jayengraga muncul di dekat Sobur, sembari menengadahkan tangan. Jayengraga memanjatkan doa ke Sanga Khalik, agar para penghuni pasar Dieng selalu diberkahi Hyang Suci.

Sobur pun mengumpat, melihat prilaku Jayengraga.

            "Bodoh sekali, Jin hina itu dia doakan. Dialah yang menyesatkan kami disini!" Grutu Sobur.

Selesai berdoa, Jayengraga menghampiri Sobur. Yang tengah terkesima tumpukan batu hitam, dekat rerumputan. Lalu, Jayengraga menyentuh pundak kanan Sobur dari arah belakang.

Dalam sekejap, Sobur pun berteleportasi ke Hargo Dalem. Dilihatnya, sebuah pendopo yang bertengger di atas gunung.

Di sana, terlihat manusia-manusia sedang duduk bersila. Memejamkan mata, tanpa bersuara. Tangan mereka ditumpangkan di atas paha, dengan jari tengah dan ibu jari menyatu. Persis sikap sunya mudra para Buddha. Hawa dingin, dan hamparan lautan awan menambah nuansa sunyi bangunan pendopo.

Langit yang nampak segapaian tangan, menggoda Sobur mendongakkan kepala. Cerita muksa-nya Sunan Lawu sedikit meruntuhkan keyakinan Sobur akan kenistaan manusia.

Begitu banyak orang-orang yang mengheningkan karsa Tuhan. Barangkali, mereka berharap wisik Tuhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun