Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hati-hati Jerat Fetisisme

3 Juni 2020   17:39 Diperbarui: 3 Juni 2020   17:40 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fetisisme secara tak sadar membelenggu manusia. Entah tua atau muda semuanya tergiring melupakan hakikat keberadaannya. Terjebak dalam simulacra yang menutupi kodrat mereka sebagai manusia. Terhegemoni budaya populer yang sengaja diarahkan pada satu titik. Pembungkaman adab, moralitas dan rasa kemanusiaan.

Hujan tak kunjung datang, panas dirasakan sekujur badan. Kiranya begitu pula dengan panas akibat merebaknya imago/citra yang benar-benar memberangus kodrat kemanusiaan. Glamorisme begitu diagungkan sebagai ideologi yang dianggap menyelamatkan dunia dan akhirat. Membutakan tendensi framing citra yang sedang dibuat oleh para adidaya.

Mereka yang terhegemoni benar-benar hanyut dalam gegap gempita. Tanpa menelaah, sejatinya apa yang sedang diarahkan pada mereka? Efeknya, keputusasaan acap kali mendera mereka. Menjadikan mereka manusia yang gampang patah semangat, patah arah dan tak mesyukuri keadaan. Demi glamoritas itu mereka pun rela melakukan apa saja. Tak bisa menjadi dan menghargai diri sendiri. Cenderung lebih mengagumkan budaya luar yang dianggap primordial.

Tampakan atau tataran "surface" yang hanya bisa perlihatkan. Selalu terkukung pada konsepsi "bagaimana bisa dipandang lebih dari yang lain" Tak memperhitungkan sifat asli dan kemampuan mereka. Semua berubah menjadi kebohongan yang membudidaya dalam sanubari.

Masih belum percaya dan bertanya-tanya?

Coba kita tengok beberapa kasus yang terjadi. Hanya demi benda duniawi mereka membunuh orang tuanya sendiri, mencuri, sampai rela menjual diri. Dari artis yang hidupnya mewah sampai mahasiswa-mahasiwi yang dipandang intelek rela melakukan hal yang tak sewajarnya.

Kasus paling aktual prihal dugaan kasus prostitusi online yang melibatkan  mantan finalis putri pariwisata Indonesia (26/10/2019 news.detik.com). PA mengaku bersalah atas kegaduhan yang terjadi. Perlu kita telaah kembali faktor apa penyebabnya. Faktor ekonomi, gaya hidup atau faktor lainnya.

Perlu diingat, saat ini dunia kita penuh dengan simulacra yang membiuskan. Manusia hanya cinta dengan simbol-simbol sosial. Citraan pun beramai-ramai dibuat demi mendongkrak kebutuhan hidup segelintir orang. Mulai dari kebutuhan ekonomi, politik, dan berbagai kebutuhan remeh lainnya. Semua diciptakan untuk meng-hegemoni massa agar mudah dikendalikan.

Dibuat sedemikian rupa untuk mengarahkan para penikmat citra melupakan kodratnya, dikurung pribadinya, lalu dituntut mengviruskannya. Hingga terpikat dan mencandu. Kebutuhan yang sejatinya skunder berubah menjadi primer. Padahal, tanpa itu tak mempengaruhi kehidupannya. Psikologi manusialah yang diacak-acak.

Begitu pula kasus yang menimpa finalis putri pariwisata itu. Mungkin, gaya hiduplah yang mendorong hilangnya kesadaran dirinya. Pengaruh citra dibenaknya membuat tampilan menarik dan glamor sebagai kebutuhan wajib (primer) tergenggam. Padahal, kondisi ekonomi tak demikian. Dengan terpaksa menawarkan suatu kelebihan yang dimilikinya. Tubuh menawan yang diberikan oleh Tuhan.

Banyak manusia yang saat ini terjebak fetisisme "simbol-simbol status sosial" Apalagi era sekarang, media penyebarannya terhitung sangat mudah. Viral menjadi barang yang ditunggu-tunggu untuk ditiru. Sekedar menuruti pandangan kebanyakan masyarakat umum. Tanpa mengkaji lebih dalam efek dan kebermanfaatnya.

Literasi Belum Teruji

Program literasi dibuat oleh pemerintah demi tercapai peningkatan minat baca masyarakat Indonesia yang cenderung sangat memprihatinkan. Selebihnya, meningkatkan daya pemahaman masyarakat Indonesia. Nyatanya, program ini butuh kerja keras lebih dari setiap kalangan. Apalagi dengan kondisi hegemoni citraan yang terus-menerus dibuat demi keuntungan beberapa pihak. Masyarakat Indonesia butuh filter penyaring dalam dirinya.   

Apalagi banyak manusia saat ini sangat asyik menikmati dunia simulacra. Hingga lalai realitas sejati manusia. Budaya pun ikut terjungkil balik pemahamannya. Yang asli luntur, yang datang dari luar begitu diagungkan. Tanpa pertimbangan kelokalannya.

Status sosial menjadi tujuan yang ingin segera mereka capai. Apalagi kalau bukan stigma gaul dan trendy. Moralitas begitu saja ditinggalkan oleh mereka. Sebab, waktu mereka banyak dihabiskan bermain gawai. Interaksi sosial mereka pun lebih banyak dilakukan di dunia maya yang nir-ekspresi. Jelas, minim kontak langsung, segalanya digantikan emoticon. Yang entah, benar-benar emosinya atau hanya kepalsuan.

Boro-boro mencapai pemahaman dunia yang holistik. Saat ini, manusia gagal memahami dirinya sendiri. Sangat mudah tergoreng dan terayu citraan yang diciptakan. Diarahkan dan dikendalakan untuk menyalahkan atau membenarkan suatu hal. Menjelma manusia fanatis yang militan terhadap pandangannya kelompoknya.

Masyarakat Konsumsi

Guy Debord menjelaskan bahwa masyarakat sekarang adalah masyarakat konsumsi yang sebagaian besar waktunya dihabiskan di depan TV dan Internet. Realitas digagahi citra dan lautan simbol yang tercipta. Hasrat yang muncul hanyalah hasrat untuk terus menerus mengkonsumsi. Terjadilah hyperrealitas yang menistakan kebenaran realitas.

Baudrillard menyebutnya sebagai tatanan fratal, dimana pemvirusan (viral) dan kankerisasi (cancerous) terus dikembangbiakkan dan tak pernah usai. Dunia sosial menjadi mencekam karenanya. Sebagai seorang yang kritis terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upayanya merekayasa manusia. Boudrilard mengimbuhkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan "kekacauan dunia natural" Baginya, antropologi telah berakhir. Kini hadir penyatuan diri manusia dengan teknologi.

Terjadilah implusi atau peledakan. Penyusutan berbagai hal ke dalam bentuk liyan. Peringkasan yang luar biasa, penghancuran dua aras (red:antara) tradisional ke dalam satu aras lain. Kehidupan berubah menjadi simulasi, yang dianggapnya sebagai sebuah kehidupan. Tak ada ekspresi, tak ada interaksi, tak ada empati yang benar-benar sejati. Media bagi mereka sekarang menjadi Guru yang begitu di-Dewa-kan. Gerak-gerik virusnya (viral) ditauladani, lalu ditirukan. Fashion, iklan, seni, prilaku sosial (massa), gaya hidup semuanya berubah menjadi ekstasi kehidupan. Metaforis yang tak kondisional, melulu hanya demi kepentingan, tak bisa dikendalikan. Hingga, menghilangkan semua esensi kehidupan.

Roh dan Jasad

Driyarkara menjelaskan adanya keterpautan antara Roh dan Jasad sebagai "Wahya-Jatmika dan Jatmika-Wahya" untuk menengahi perang antara citraan dan realitas. Dwi tunggal itu digunakan sebagai bentuk refleksi diri agar tak terlepas dari hakikat adanya manusia. Tak melulu mengejar kemauan, Hasrat, kepalsuan, kepuasan pribadi dan terlalu memburu bayang-bayang.

Barang tentu, manusia pasti mengejar hal yang sifatnya material. Namun, material itu digunakan untuk menuju kehidupan yang sifatnya lebih tinggi. Mencari kebahagian dari yang terbahagia dan kebaikan dari yang terbaik. Dan kesemuanya tak berwujud, bukan material. Tapi kebutuhan Roh manusia.

Dari mana berangkatnya? dari Wahya atau Jatmika? Itu tergantung manusianya. Yang pasti, keduanya harus terikat kuat, seimbang dan berjalan beriringan. Jika tidak, keputusasaan akan sangat mudah menghampiri diri kita. Terkurung dalam jaring-jaring kepuasaan palsu yang material. Hingga kita lupa memikirkan manusia dan diri kita sendiri. Lupa akan kodrat dan terbuai simbol-simbol yang bertebaran di dunia simulacra.

Frengki Nur Fariya Pratama Seorang pecinta naskah Jawa tergabung di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam. Masih berkutat dengan bangku kuliah di Magister Ilmu Susastra Undip Semarang. Bisa dihubungi di Ig: @frengkifariyapratama email:frengki.criss@gmail.com  fb: frengki cirssz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun