Literasi Belum Teruji
Program literasi dibuat oleh pemerintah demi tercapai peningkatan minat baca masyarakat Indonesia yang cenderung sangat memprihatinkan. Selebihnya, meningkatkan daya pemahaman masyarakat Indonesia. Nyatanya, program ini butuh kerja keras lebih dari setiap kalangan. Apalagi dengan kondisi hegemoni citraan yang terus-menerus dibuat demi keuntungan beberapa pihak. Masyarakat Indonesia butuh filter penyaring dalam dirinya. Â Â
Apalagi banyak manusia saat ini sangat asyik menikmati dunia simulacra. Hingga lalai realitas sejati manusia. Budaya pun ikut terjungkil balik pemahamannya. Yang asli luntur, yang datang dari luar begitu diagungkan. Tanpa pertimbangan kelokalannya.
Status sosial menjadi tujuan yang ingin segera mereka capai. Apalagi kalau bukan stigma gaul dan trendy. Moralitas begitu saja ditinggalkan oleh mereka. Sebab, waktu mereka banyak dihabiskan bermain gawai. Interaksi sosial mereka pun lebih banyak dilakukan di dunia maya yang nir-ekspresi. Jelas, minim kontak langsung, segalanya digantikan emoticon. Yang entah, benar-benar emosinya atau hanya kepalsuan.
Boro-boro mencapai pemahaman dunia yang holistik. Saat ini, manusia gagal memahami dirinya sendiri. Sangat mudah tergoreng dan terayu citraan yang diciptakan. Diarahkan dan dikendalakan untuk menyalahkan atau membenarkan suatu hal. Menjelma manusia fanatis yang militan terhadap pandangannya kelompoknya.
Masyarakat Konsumsi
Guy Debord menjelaskan bahwa masyarakat sekarang adalah masyarakat konsumsi yang sebagaian besar waktunya dihabiskan di depan TV dan Internet. Realitas digagahi citra dan lautan simbol yang tercipta. Hasrat yang muncul hanyalah hasrat untuk terus menerus mengkonsumsi. Terjadilah hyperrealitas yang menistakan kebenaran realitas.
Baudrillard menyebutnya sebagai tatanan fratal, dimana pemvirusan (viral) dan kankerisasi (cancerous) terus dikembangbiakkan dan tak pernah usai. Dunia sosial menjadi mencekam karenanya. Sebagai seorang yang kritis terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upayanya merekayasa manusia. Boudrilard mengimbuhkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan "kekacauan dunia natural" Baginya, antropologi telah berakhir. Kini hadir penyatuan diri manusia dengan teknologi.
Terjadilah implusi atau peledakan. Penyusutan berbagai hal ke dalam bentuk liyan. Peringkasan yang luar biasa, penghancuran dua aras (red:antara) tradisional ke dalam satu aras lain. Kehidupan berubah menjadi simulasi, yang dianggapnya sebagai sebuah kehidupan. Tak ada ekspresi, tak ada interaksi, tak ada empati yang benar-benar sejati. Media bagi mereka sekarang menjadi Guru yang begitu di-Dewa-kan. Gerak-gerik virusnya (viral) ditauladani, lalu ditirukan. Fashion, iklan, seni, prilaku sosial (massa), gaya hidup semuanya berubah menjadi ekstasi kehidupan. Metaforis yang tak kondisional, melulu hanya demi kepentingan, tak bisa dikendalikan. Hingga, menghilangkan semua esensi kehidupan.
Roh dan Jasad
Driyarkara menjelaskan adanya keterpautan antara Roh dan Jasad sebagai "Wahya-Jatmika dan Jatmika-Wahya" untuk menengahi perang antara citraan dan realitas. Dwi tunggal itu digunakan sebagai bentuk refleksi diri agar tak terlepas dari hakikat adanya manusia. Tak melulu mengejar kemauan, Hasrat, kepalsuan, kepuasan pribadi dan terlalu memburu bayang-bayang.