Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersua Identitas: Reyog atau Reog

31 Desember 2019   17:55 Diperbarui: 31 Desember 2019   18:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Reyog Di Masa Lalu | dokpri

Dialog Budaya Ponorogo untuk pertama kalinya digelar tanggal 28-29 Agustus 2019 silam. Sebagai salah satu evet Festival Bumi Reyog dan peringatan hari jadi ke-523 Kabupaten Ponorogo tak pelak masalah Reyog pun dibincang sengit.

Dialog panjang tak berujung itu menyertai dialog Budaya Ponorogo yang diselenggarakan oleh pemerintahan kabupaten Ponorogo bekerjasam dengan Badan Pelestari Nilai Budaya (BPNB) DIY. Acara yang disokong oleh Indonesiana ini berupaya memperkuat Jati diri bangsa lewat budaya Ponorogo. Lewat, dinamika pelaku penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pelaku kesenian Reyog Ponorogo.

Bersua Masalah Identitas

Riuh, sengit, penuh dialektika kedua tema besar yang dibahas dalam acara ini. Stigma masyarakat yang sedari dulu membungkam masalah paling krusial prihal kepercayaan. Sampai krusialnya problematika para pelaku seni menghayati identitas yang tak terlepas dari Ponorogo, yaitu Reyog Ponorogo. Begitu pula penyebutan Reog ataukah Reyog.

Kedua dimensi kebudayaan yang memang memperkuat jati diri bangsa ini mengukur seberapa kongkrit masyarakat Ponorogo memegang teguh kelestarian budaya disaat gempuran berbagai arus internalisasi budaya mancanegara yang datang menghujani tembok-tembok karakter bangsa Indonesia.

Tentu, permasalahan utama yang bibahas dari para peserta dan narasumber adalah Identitas. Dimana, indentitas itu menjadi hal yang paling primordial manusia untuk saat ini. Sama halnya status sosial seorang manusia yang dihamba hingga titik nadir. Begitu pula keresahan para penghayat yang terhalang tembok raksasa di tahun-tahun lalu.

Disini, mereka mempertegas bagaimana posisi mereka di Indonesia. Melanggar? atau memang kepercayaan adalah sebuah kebebasan? Tentu, mereka tak ingin mengkhianati Pancasila yang terpatri di dada sang burung gagah, Garuda. Disisi lain, mereka pun tak mau mengkafiri agama yang dipaksakan tergores dalam KTP-nya.

Sangat sepele, meraka hanya mengawal terlaksananya peraturan bersama antara Kemendagri dan Kemendikbud Nomor 43 dan Nomor 41 yang diketok palu. Sayangnya, terkadang timbul deskriminasi bagi penghayat untuk memilih satu agama. Kalau tidak, mereka diberikan strip (-) dalam kolom agamanya. Naasnya, kebanyakan memandang rendah mereka yang beragama strip (-).

Bersyukur, jalan terang KTP telah bersinar. Para penghayat dapat menghilangkan tanda strip (-) dalam KTP-nya. Prihal stigma masyarakat, masih menjadi PR besar. Identitas mereka masih dipandang miring oleh kebanyakan masyarakat. Belum jelas dan belum terselesaikan pemerintah.

Identitas menjadi barang yang mahal. Begitu pula identitas budaya daerah Ponorogo miliki. Reyog menjadi perjuangan panjang yang masih dicari ujung benangnya. Kegagalan pengakuan UNESCO masih menjadi jalan panjang yang perlu segera terselesaikan.

Masalah Reyog Ponorogo

Menurut berita ANTARA News (27/8) beberapa masalah yang dirundung Reyog Ponorogo diantaranya: 1) Pakem tari yang masih beragam; 2) Kurangnya pelaku kesenian Reyog diluar negeri; 3) Penyebutan kesenian yang belum jelas antara Reyog atau Reog.

Lewat materi yang disampaikan salah satu narasumber Lono Simatupang (28/8) menunjukkan hal yang menurut saya kontradiktif. Reyog sebagai Warisan Budaya Tak-benda harus dikenal oleh komunitas/kelompok dan perorangan yang termasuk dari bagian warisan budayanya. Harus dikenal oleh masyarakat seluk-beluk yang terkandung di dalam keseniannya.

Warisan budaya Tak-benda harus terus beregenerasi dan terinovasi dalam ciptanya. Dalam rangka menjawab kebutuhan zaman, alam dan terdokumentasi sejarahnya. Dalam arti lain, penghargaan keragaman dan kreativitas menjadi pilar utama.

Melingkup pula asas Hak Asasi Manusia dan jiwa saling menghargai antara pelaku atas nama perkembangan dan pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga, keberagaman kreasi menjadi potensi keindahan. Itulah definisi versi UNESCO.

Pikiran pun berkelindan mengontraksi permasalah itu. Jika ditafsir sungkan untuk mengiyakan permasalah yang tercatat itu. Mengacu definisi UNESCO, Pakem seolah tak menjadi masalah. Penumbuhan kecintaan jika Reyog dianggap identitas sangat leluasa berkesampatan digulirkan. Yang jelas tendensi gebyar harus diredam, dan terarahkan pada implementasi berkesinambungan.

Masalah penyebutan Reog atau Reyog sejati sangat mudah mencari pijakan. Reog yang sebelumnya termasyhur dengan akronim "Resik, Endah, Omber, Girang-Gemirang" harus terakui sebagai kampanye pemerintah bupati yang lampau. Jika membuka lembar manuskrip yang juga masuk salah satu objek dalam UU Pemajuan Kebudayaan non.5 tahun 2015 permasalahan itu terjawab.

Serat Centhini jilid 4 yang selesai dibuat kisaran tahun 1814 Masehi menyebutnya "Reyog" dengan huruf "Y" yang tersusun. Catatan Centhini itu begini "Warok ggk wontn malih dnrmni | dados reyog mawa | gndruwon barongan jathil | ingkang dados rringgitan || (Pupuh Maskumambang, Pada 34)" Sangat jelas Reyog yang terkonteks adalah Reyog Ponorogo.

Segala aspek itu harus purna dipegang, jika Reyog ingin segera dapat alas yang menjamin Identitas Reyog Ponorogo. Hal wajib untuk memperdulikan aspek kesejarahan, pengistilahan, kesejahteraan pelaku yang disematkan dalam PPKD dan APBD Ponorogo. Tak melulu mendahulukan gebyar

Supaya, sinkronisasi antar unsur dapat terjalin rapi dan estetik untuk mengkajinya. Sehingga, berbincang masalah Reyog tak hanya berbicara Grebeg Suro dan dhadhak (merak) yang men-dadak terguling prihal Reyog atau Reog.

Referensi perkembangan harus segera terdokumentasi rapi dalam kotak peti kesenian Reyog Ponorogo. Sehingga, masyarakat tak menduga bahwa Reyog Ponorogo tak jelas asal-muasal sejarahnya. Peneliti pun tak kebingungan mencari pijakan jejak kaki Reyog, karena telah tersimpan dalam ruang perpustakaan daerah. Takutnya, jika peneliti mereka-reka jejak dianggap sok tau sangkan-paran Reyog Ponorogo.

Apalagi, sangkan Reyog Ponorogo kebanyakan terstruktur dijaman pergolakan 1957. Stigma pewaris pasti menerka pergolakan 1957-lah asal dumadi-nya. Hingga, versi yang begitu banyak dianggap muda dan menimbulkan tanda tanya yang terlalu riskan untuk dijawab. Karena, sangkan yang lebih tua tak terdeteksi keberadaanya.

Oleh karena itu, mutlak manuskrip harus terlibat untuk menyokong perjalanan payah Reyog Ponorogo mendapat payung dari UNESCO. Jika selama ini, manuskrip tak didampingkan, harus segera terkerahkan untuk mendukung keberhasilan. Jangan sampai angin klaim kembali menerpa Reyog Ponorogo lagi.

Identitas harus kokoh berdiri menghalau berbagai serbuan identitas luar. Menjadikanya tembok yang benar-benar kokoh dan gamblang menelusur keberadaanya dari masa ke masa. Setrukturasi terlihat jelas dan kidung indah pasti tergaung disetiap mulut pembincang Reyog Ponorogo.

Akhirnya

Seperti halnya para penghayat yang jatuh-bangun memperjuangkan kolom strip (-) agar jelas dan tak ingin menodai identitas agama KTP yang dikantongnya. Reyog Ponorogo jangan sampai bimbang mencantumkan istilah Reyog atau Reog dalam kolom identitas budayanya. Hingga, istilah strip (-) -tak diakui- tersemat dari UNESCO.

Reyog atau Reog? ternyata begitu penting. Jika eksistensi dan substansi, mana yang lebih penting?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun