Oleh karena itu, mutlak manuskrip harus terlibat untuk menyokong perjalanan payah Reyog Ponorogo mendapat payung dari UNESCO. Jika selama ini, manuskrip tak didampingkan, harus segera terkerahkan untuk mendukung keberhasilan. Jangan sampai angin klaim kembali menerpa Reyog Ponorogo lagi.
Identitas harus kokoh berdiri menghalau berbagai serbuan identitas luar. Menjadikanya tembok yang benar-benar kokoh dan gamblang menelusur keberadaanya dari masa ke masa. Setrukturasi terlihat jelas dan kidung indah pasti tergaung disetiap mulut pembincang Reyog Ponorogo.
Akhirnya
Seperti halnya para penghayat yang jatuh-bangun memperjuangkan kolom strip (-) agar jelas dan tak ingin menodai identitas agama KTP yang dikantongnya. Reyog Ponorogo jangan sampai bimbang mencantumkan istilah Reyog atau Reog dalam kolom identitas budayanya. Hingga, istilah strip (-) -tak diakui- tersemat dari UNESCO.
Reyog atau Reog? ternyata begitu penting. Jika eksistensi dan substansi, mana yang lebih penting? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H