Menurut berita ANTARA News (27/8) beberapa masalah yang dirundung Reyog Ponorogo diantaranya: 1) Pakem tari yang masih beragam; 2) Kurangnya pelaku kesenian Reyog diluar negeri; 3) Penyebutan kesenian yang belum jelas antara Reyog atau Reog.
Lewat materi yang disampaikan salah satu narasumber Lono Simatupang (28/8) menunjukkan hal yang menurut saya kontradiktif. Reyog sebagai Warisan Budaya Tak-benda harus dikenal oleh komunitas/kelompok dan perorangan yang termasuk dari bagian warisan budayanya. Harus dikenal oleh masyarakat seluk-beluk yang terkandung di dalam keseniannya.
Warisan budaya Tak-benda harus terus beregenerasi dan terinovasi dalam ciptanya. Dalam rangka menjawab kebutuhan zaman, alam dan terdokumentasi sejarahnya. Dalam arti lain, penghargaan keragaman dan kreativitas menjadi pilar utama.
Melingkup pula asas Hak Asasi Manusia dan jiwa saling menghargai antara pelaku atas nama perkembangan dan pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga, keberagaman kreasi menjadi potensi keindahan. Itulah definisi versi UNESCO.
Pikiran pun berkelindan mengontraksi permasalah itu. Jika ditafsir sungkan untuk mengiyakan permasalah yang tercatat itu. Mengacu definisi UNESCO, Pakem seolah tak menjadi masalah. Penumbuhan kecintaan jika Reyog dianggap identitas sangat leluasa berkesampatan digulirkan. Yang jelas tendensi gebyar harus diredam, dan terarahkan pada implementasi berkesinambungan.
Masalah penyebutan Reog atau Reyog sejati sangat mudah mencari pijakan. Reog yang sebelumnya termasyhur dengan akronim "Resik, Endah, Omber, Girang-Gemirang" harus terakui sebagai kampanye pemerintah bupati yang lampau. Jika membuka lembar manuskrip yang juga masuk salah satu objek dalam UU Pemajuan Kebudayaan non.5 tahun 2015 permasalahan itu terjawab.
Serat Centhini jilid 4 yang selesai dibuat kisaran tahun 1814 Masehi menyebutnya "Reyog" dengan huruf "Y" yang tersusun. Catatan Centhini itu begini "Warok ggk wontn malih dnrmni | dados reyog mawa | gndruwon barongan jathil | ingkang dados rringgitan || (Pupuh Maskumambang, Pada 34)" Sangat jelas Reyog yang terkonteks adalah Reyog Ponorogo.
Segala aspek itu harus purna dipegang, jika Reyog ingin segera dapat alas yang menjamin Identitas Reyog Ponorogo. Hal wajib untuk memperdulikan aspek kesejarahan, pengistilahan, kesejahteraan pelaku yang disematkan dalam PPKD dan APBD Ponorogo. Tak melulu mendahulukan gebyar
Supaya, sinkronisasi antar unsur dapat terjalin rapi dan estetik untuk mengkajinya. Sehingga, berbincang masalah Reyog tak hanya berbicara Grebeg Suro dan dhadhak (merak) yang men-dadak terguling prihal Reyog atau Reog.
Referensi perkembangan harus segera terdokumentasi rapi dalam kotak peti kesenian Reyog Ponorogo. Sehingga, masyarakat tak menduga bahwa Reyog Ponorogo tak jelas asal-muasal sejarahnya. Peneliti pun tak kebingungan mencari pijakan jejak kaki Reyog, karena telah tersimpan dalam ruang perpustakaan daerah. Takutnya, jika peneliti mereka-reka jejak dianggap sok tau sangkan-paran Reyog Ponorogo.
Apalagi, sangkan Reyog Ponorogo kebanyakan terstruktur dijaman pergolakan 1957. Stigma pewaris pasti menerka pergolakan 1957-lah asal dumadi-nya. Hingga, versi yang begitu banyak dianggap muda dan menimbulkan tanda tanya yang terlalu riskan untuk dijawab. Karena, sangkan yang lebih tua tak terdeteksi keberadaanya.