Mohon tunggu...
Ma Sang Ji
Ma Sang Ji Mohon Tunggu... lainnya -

dikenal sebagai Siluman Feminin ~ pengarah umum klub A Sia Na » http://asianaclub.wordpress.com ~ redaktur majalah Sanggar Jiwa » http://masangji.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bicaralah dengan Bahasa Hati, Tuan!*

12 Juni 2011   06:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasihan benar. Para hamba ini tak sadar, mereka menjadi bidak dalam permainan catur Tuan Kompasiana. Dalam mimpi pun mereka tak pernah menduga bahwa sang tuan hendak mengerahkan varian yang paling tajam dari "Pembukaan Gambit Raja". (Kata mbah Google, strategi ini bermakna mengorbankan hamba-hamba tertentu, yaitu pion-pion raja dan bahkan beberapa perwira bila perlu, demi kejayaan sang tuan.)

[caption id="attachment_113846" align="alignright" width="208" caption="1. e2-e4 e7-e5 2. f2-f4 .... (www.krazl.com)"][/caption]

KLIK. Langkah demi langkah diayunkan di atas papan, semakin dahsyat aku rindukan tuan siluman. Tuan yang lebih suka bunuh diri ketimbang mengorbankan hambanya.

Duh, malang nian para korban. Berkaca-kaca mataku menatap papan.

Ya, di tengah pesta mereka air mataku menggenang. Memori masa kecil tiba-tiba mencuat. Masa ketika yang miskin digusur, yang kaya menikmati pembangunan. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,” tandas Rhoma Irama.

Itulah masa ketika ketimpangan merajalela. Ketimpangan yang masih berlanjut hingga detik ini, walau presiden silih berganti. Ketimpangan yang akan menular, dari Indonesia ke Kompasiana.

Namun, aku tak mampu meramal apa yang akan terjadi esok hari. Bukan mustahil, hujan duit hanya akan membasahi segelintir warga Kompasiana. Boleh jadi, korban-korban akan bergelimpangan.

Hik hik.... Air mataku tumpah sudah. Aku terkenang biji-biji catur yang lenyap dari atas papan.

Di sini ada yang hilang Dihilangkan dan menghilang Barang hilang masih bisa terganti... Orang-orang hilang masihkah tercari

KLIK. Langkah demi langkah diayunkan kembali di atas papan, semakin tak tahan aku menyaksikannya. Tak terlihat lagi tingkah-polah pejantan berebut betina. Yang tampak kini hanyalah bidak-bidak yang saling cakar dan saling makan.

Eh, tidak semuanya. Beberapa jendela, di luar papan, masih terbuka dengan sosok yang memandang dari kejauhan. Persis seperti diriku, mata mereka berkaca-kaca. Mereka pun mendayu, “Bicaralah dengan bahasa hati, Tuan!

Tumpahan air mataku semakin deras. Sudah saatnya aku terbang, tak perlu ditahan lagi. KLIK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun