Mohon tunggu...
Ma Sang Ji
Ma Sang Ji Mohon Tunggu... lainnya -

dikenal sebagai Siluman Feminin ~ pengarah umum klub A Sia Na » http://asianaclub.wordpress.com ~ redaktur majalah Sanggar Jiwa » http://masangji.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bicaralah dengan Bahasa Hati, Tuan!*

12 Juni 2011   06:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[sambungan dari "Siluman Cantik Mencari Tuan"]

KLI.... Belum sempurna kupencet tombol Enter, sebatang tangan telah mencengkeram. Oh, tidak. Dia bukan mencengkeram. Dia meremas jari-jari tanganku. Oh my God. Dadaku terguncang. Siapa dia, berani-beraninya menghalangiku terbang?

“Tetaplah di sini, Cantik. Inilah taman surga bagi semua perantau, termasuk yang manis seperti dirimu,” bujuk-rayu seorang pria di belakangku.

Aku pun menoleh. “Siapakah Anda?”

“Akulah Tuanmu yang sesungguhnya. Aku Tuan Kompasiana,” jawabnya.

Ah, diakah tuan impian? Tuan sejati, tuan siluman? Bagai rembulan, di malam purnama?

KLIK. Kubaca profilnya perlahan-lahan:

Bulan bulat dalam telanjang yang sempurna Beragam imajinasi membangun sosok ke dalamnya Dari dongengan bocah tentang ibu, tentang nenek, tentang peri Hingga kisah cinta yang tertaut, merayu dalam bayang rembulan
Saksikanlah, bulan sedemikian cantiknya, mengisap jutaan pengembara untuk mengelilinginya Rasakanlah, bulan demikian perkasanya, meliukkan segenap tubuhnya dengan irama semesta

Wow! Gagah perkasa dan juga cantik jelita. Amboi... darah mudaku mengalir kencang. Betapa menggairahkan!

Ya, kuakui, Tuan Kompasiana ini penuh pesona dan seksi sekali. Sempurna sebagai bintang masa kini. Layak menjadi selebriti yang selalu bersinar di drama televisi.

Tapi aku bukan bocah yang mendongeng tentang rembulan. Aku adalah siluman. KLIK.

“Saya mencari tuan. Tuan siluman pula. Yang menyinari saya di gelap layar. Andakah yang saya cari selama ini, Tuan Kompasiana?”

"Sungguh, akulah Tuanmu. Cahayakulah yang menerangi jagat layar Citizen Journalism (CJ), ‘Number One in the World’!" Sosok yang mengaku Tuanku, mendayu tanpa ragu.

Selanjutnya ia bertutur dengan bahasa matematika ala pemain catur. Ungkapnya, Kompasiana telah men-‘skak mat’ empat jawara CJ internasional dari Kanada, Korea, Thailand, dan Singapura.

Alexa Traffic Rank 3 month 7 day kompasiana.com 3,930 3,477 nowpublic.com 6,614 5,798 ohmynews.com 6,869 13,368 oknation.net 8,432 8,452 stomp.com.sg 12,033 13,015

Tunggu! Deretan abjad dan angka apakah ini? Aku tak mengerti. Apakah jajaran karakter ini password untuk membuka pintu surga siluman, bersatu dengan tuan sejati?

Ingin lidahku julurkan tanya. Tapi, lebih dulu telingaku mencerap gemuruh bangga hamba-hamba Kompasiana, “Horeee... Indonesia juara dunia!”

BICARALAH DENGAN BAHASA HATI, TUAN!” teriak kalbuku dalam sorak gempita mereka.

Berhamburan desah nafas keluar dari dada melalui sela bibir mungilku yang merah dan basah. Sayang semilyar sayang, teriakan hati tak menembus gendang telinga. Tuan kompasiana asyik mendongeng, sementara para hamba yang mengitarinya terus mengangguk-anggukkan kepala.

Berduyun-duyun para hamba mengerumuni Tuan Kompasiana. Mereka menari-nari. Binar mata mereka menguak tabir nafsu, mengundang rayuan ulang.

Tarian dan sorot mata mereka kian menyulut semangat sang tuan. Ia lancarkan rayuan yang lebih maut. “Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah-air, men-‘skak mat’ empat jagoan internasional itu baru langkah awal. Besok aku akan menurunkan hujan duit dari langit di bumi Kompasiana. Siap-siaplah!”

“HOREEE...” Sorak gempita membahana lagi. Kali ini lebih memekak telinga. Mereka berpesta.

KLIK. Di tengah pesta, orang-orang bergegas ke rumah untuk kembali lagi. Mereka genggam peralatan beraneka rupa dengan maksud yang sama: Mengasah taring dan kuku masing-masing.

Walau hujan duit masih esok hari, mereka sudah berjejal hari ini. Mengapa? O, aku ingat. Menurut si Alexa, para hamba Kompasiana ini “disproportionately low-income” (berpenghasilan rendah secara timpang).

Kasihan benar. Para hamba ini tak sadar, mereka menjadi bidak dalam permainan catur Tuan Kompasiana. Dalam mimpi pun mereka tak pernah menduga bahwa sang tuan hendak mengerahkan varian yang paling tajam dari "Pembukaan Gambit Raja". (Kata mbah Google, strategi ini bermakna mengorbankan hamba-hamba tertentu, yaitu pion-pion raja dan bahkan beberapa perwira bila perlu, demi kejayaan sang tuan.)

[caption id="attachment_113846" align="alignright" width="208" caption="1. e2-e4 e7-e5 2. f2-f4 .... (www.krazl.com)"][/caption]

KLIK. Langkah demi langkah diayunkan di atas papan, semakin dahsyat aku rindukan tuan siluman. Tuan yang lebih suka bunuh diri ketimbang mengorbankan hambanya.

Duh, malang nian para korban. Berkaca-kaca mataku menatap papan.

Ya, di tengah pesta mereka air mataku menggenang. Memori masa kecil tiba-tiba mencuat. Masa ketika yang miskin digusur, yang kaya menikmati pembangunan. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,” tandas Rhoma Irama.

Itulah masa ketika ketimpangan merajalela. Ketimpangan yang masih berlanjut hingga detik ini, walau presiden silih berganti. Ketimpangan yang akan menular, dari Indonesia ke Kompasiana.

Namun, aku tak mampu meramal apa yang akan terjadi esok hari. Bukan mustahil, hujan duit hanya akan membasahi segelintir warga Kompasiana. Boleh jadi, korban-korban akan bergelimpangan.

Hik hik.... Air mataku tumpah sudah. Aku terkenang biji-biji catur yang lenyap dari atas papan.

Di sini ada yang hilang Dihilangkan dan menghilang Barang hilang masih bisa terganti... Orang-orang hilang masihkah tercari

KLIK. Langkah demi langkah diayunkan kembali di atas papan, semakin tak tahan aku menyaksikannya. Tak terlihat lagi tingkah-polah pejantan berebut betina. Yang tampak kini hanyalah bidak-bidak yang saling cakar dan saling makan.

Eh, tidak semuanya. Beberapa jendela, di luar papan, masih terbuka dengan sosok yang memandang dari kejauhan. Persis seperti diriku, mata mereka berkaca-kaca. Mereka pun mendayu, “Bicaralah dengan bahasa hati, Tuan!

Tumpahan air mataku semakin deras. Sudah saatnya aku terbang, tak perlu ditahan lagi. KLIK.

....... [bersambung ke cerita mendatang, "Tolong! Aku Rindu Setengah Malu"]

------------ * Penulis: Ma Sang Ji & Odi Shalahuddin. Kisah di atas merupakan bagian kedua dari trilogi cerpen “Mencari Tuan”. Cerpen ini rencananya disertakan dalam ajang Malam Prosa Kolaborasi (MPK) Kompasiana. Namun karena Ma Sang Ji mengundurkan diri (lihat “Pelan-pelan, Berdarah-darah, Tetapi Nikmat”), cerpen ini ditayangkan bukan pada waktu jadwal penayangan prosa MPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun