Rayuan-rayuan bertebaran. Syair-syair indah melambung tinggi ke pintu surga; godaan-godaan vulgar meluncur dari jurang neraka.
“Aku adalah siluman. Kutegaskan sekali lagi. Aku adalah siluman. Aku sedang mencari tuan siluman.”
“Kami tidak peduli engkau si luman atau si lamun. Tidak ada diskriminasi di sini. Malaikat, manusia, iblis, virus, arca, robot, ... semuanya ada di sini. Kolaborasi kita setara. Tiada hamba, tiada tuan. Ini sudah keputusan tuan Admin. Bila tak suka, silakan angkat kaki dari sini.”
KLIK. Aneh! Katanya tiada tuan, tapi mempertuankan Admin. Niatnya mau kolaborasi, tapi aku didorong pergi. Ada apa ini?
Rayuan, ajakan, kini juga disertai bujukan dan ancaman. Bagiku, sebagai siluman, itu semua tong kosong belaka. Tapi bagi manusia....
Setengah dari mereka, terbujuk sudah. Dengan nada tercekam, mereka saling berbisik,
“Silakan injak wajahku, Sobat. Aku masih punya pantat.”
Mereka meringkuk. Di pojok sana.
Setengah lainnya, yang berlagak tuan, sama-sama tak mau mengalah. Mulai saling berbantah.
“Si cantik ini milikku. Aku yang membawanya ke sini.”
“Bukan! Akulah yang lebih dulu mendaftarkan diri. Akulah yang wajib mencumbunya pertama kali.”
Lalu mereka menghunus retorika, menusuk jantung-jantung yang menganga. Hiruk-pikuk bagai anjing jantan berebut betina.
Ah, aku bukan anjing. Tiada layak menjadi pasangan. Aku adalah Siluman. Di sini aku mencari tuan. Tuan sejati, bukan tuan jadi-jadian.
Telah ribuan huruf aku ketikkan. Masih saja mereka salah paham. Dengan teknologi apa lagi, aku mesti berkomunikasi?