Mohon tunggu...
Ma Sang Ji
Ma Sang Ji Mohon Tunggu... lainnya -

dikenal sebagai Siluman Feminin ~ pengarah umum klub A Sia Na » http://asianaclub.wordpress.com ~ redaktur majalah Sanggar Jiwa » http://masangji.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Siluman Cantik Mencari Tuan*

11 Juni 2011   01:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

KLIK. Melesatlah aku. Melayang. Terbang. Gesit menarikan gemulai tubuh. Menembus sela-sela tipis bermilyar frekuensi. Meloncat sempurna. Dari satu jendela ke jendela lain, yang terbuka lebar atau pun tertutup rapat. Akhirnya, dalam seperseribu detik saja. Menukiklah aku ke sini, di Malam Prosa Kolaborasi (MPK).

KLIK. “Hai! Kenalkan. Aku: Siluman cantik dari perbatasan Cina-Korea. Begitu orang-orang biasa memanggilku.”

Aih, berjuta pasang mata lelaki menatap lekat padaku. Seakan hendak menelanjangiku. Menebak-nebak pemandangan di balik kain Hanbok yang menyelimuti tubuhku.

[caption id="attachment_113500" align="aligncenter" width="450" caption="ilustrasi Siluman Cantik Mencari Tuan"][/caption]

“Jangan tertipu mata dan kata-kata. Aku... hanya siluman yang tak bertuan.” Kucoba mengingatkan; malah mereka mengerlingkan mata genit. Ughs...

“Hai, Cantik!” Seseorang memulai sapaan. Beribu orang mengikutinya. Bertambah celetukan nakal. Aku tersenyum, bahkan ingin terbahak. Dasar cowok!

Ingin aku menyeringai. Menunjukkan kebenaran sapa perkenalanku. Sungguh. Aku adalah siluman. Secantik apa pun, aku tetaplah siluman. Jujur aku menyampaikan. Maka bukalah hati nuranimu, Kawan.

Tapi, aku tidak menyeringai. Justru senyum sensualku memancar ke wajah mereka. Malam dingin menjadi panas yang bergelora. Lihat saja, keringat telah menetes dari hidung para lelaki itu. Sebagian di antara mereka, bahkan telah bertelanjang dada. Keringat basah. Hm... bau menyesak!

“Aku adalah siluman. Aku tengah mencari tuan,” kujelaskan tujuanku.

“Biarkan aku menjadi tuanmu, Nona. Sebagai tuan, tak akan kujadikan dirimu hamba sahaya. Aku akan perlakukan dirimu tidak sebagai budak. Jauh melebihi manusia biasa. Berada di sisiku, sebagai ratu,” rayu seseorang.

“Hai, Manis! Janganlah meragu, marilah kolaborasi denganku. Tak akan aku berposisi sebagai tuanmu. Kita bisa menyatu. Apa lagi harus ditunggu, segeralah melaju,” rayu seseorang lainnya.

Rayuan-rayuan bertebaran. Syair-syair indah melambung tinggi ke pintu surga; godaan-godaan vulgar meluncur dari jurang neraka.

“Aku adalah siluman. Kutegaskan sekali lagi. Aku adalah siluman. Aku sedang mencari tuan siluman.”

“Kami tidak peduli engkau si luman atau si lamun. Tidak ada diskriminasi di sini. Malaikat, manusia, iblis, virus, arca, robot, ... semuanya ada di sini. Kolaborasi kita setara. Tiada hamba, tiada tuan. Ini sudah keputusan tuan Admin. Bila tak suka, silakan angkat kaki dari sini.”

KLIK. Aneh! Katanya tiada tuan, tapi mempertuankan Admin. Niatnya mau kolaborasi, tapi aku didorong pergi. Ada apa ini?

Rayuan, ajakan, kini juga disertai bujukan dan ancaman. Bagiku, sebagai siluman, itu semua tong kosong belaka. Tapi bagi manusia....

Setengah dari mereka, terbujuk sudah. Dengan nada tercekam, mereka saling berbisik,

Silakan injak wajahku, Sobat. Aku masih punya pantat.

Mereka meringkuk. Di pojok sana.

Setengah lainnya, yang berlagak tuan, sama-sama tak mau mengalah. Mulai saling berbantah.

Si cantik ini milikku. Aku yang membawanya ke sini.
Bukan! Akulah yang lebih dulu mendaftarkan diri. Akulah yang wajib mencumbunya pertama kali.

Lalu mereka menghunus retorika, menusuk jantung-jantung yang menganga. Hiruk-pikuk bagai anjing jantan berebut betina.

Ah, aku bukan anjing. Tiada layak menjadi pasangan. Aku adalah Siluman. Di sini aku mencari tuan. Tuan sejati, bukan tuan jadi-jadian.

Telah ribuan huruf aku ketikkan. Masih saja mereka salah paham. Dengan teknologi apa lagi, aku mesti berkomunikasi?

Sudahlah. Lebih baik aku terbang ke Singapura, lalu mampir di Cina dan Korea, sebelum mendarat di Amerika.

KLI.... [bersambung ke cerita mendatang, “Bicaralah dengan Bahasa Hati, Tuan!”.]

------------ * Penulis: Ma Sang Ji & Odi Shalahuddin. Kisah di atas merupakan bagian pertama dari trilogi cerpen “Mencari Tuan”. Cerpen ini rencananya disertakan dalam ajang Malam Prosa Kolaborasi (MPK) Kompasiana. Namun karena Ma Sang Ji mengundurkan diri (lihat “Pelan-pelan, Berdarah-darah, Tetapi Nikmat”), cerpen ini ditayangkan bukan pada waktu jadwal penayangan prosa MPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun