rumah tua yang hampir tertelan oleh semak belukar dan akar-akar besar yang menggeliat di tanah. Rumah itu tidak pernah ditinggali, namun pintu dan jendelanya selalu tertutup rapat, seolah menunggu sesuatu---atau seseorang---untuk datang. Orang-orang desa menyebutnya "Rumah Hening", tempat di mana suara angin pun enggan singgah, karena di sana keheningan membawa teror yang mematikan.
Di sebuah desa terpencil bernama Kampung Selaksa, terhampar misteri yang hanya berani dibicarakan dalam bisikan-bisikan lirih, seolah ketakutan mereka akan mengundang sesuatu yang tak kasat mata. Desa itu, meski tampak damai dengan kabut tipis yang menyelimuti perbukitan dan pepohonan tua yang rimbun, menyimpan rahasia kelam di balik ketenangannya. Penduduknya hidup dalam bayang-bayang kepercayaan kuno, tentang sesuatu yang tak berani mereka tantang atau coba singkap.Di batas desa, jauh di tengah hutan lebat yang tidak pernah dikunjungi oleh siapapun yang waras, berdiri sebuahRumah Hening dipercaya menjadi pusat dari pesugihan, ritual gaib yang menjanjikan kekayaan melimpah bagi mereka yang berani menghadapinya. Tapi kekayaan itu bukanlah hadiah, melainkan kutukan. Para tetua desa sering memperingatkan, "Apa yang kau dapat dari sana, tidak pernah gratis. Ada harga yang lebih besar dari emas dan perak, lebih berat dari beban apa pun yang bisa kau bayangkan."
Bulan purnama selalu membawa kegelisahan bagi warga Kampung Selaksa. Saat malam tiba dan sinarnya menerangi celah-celah hutan, mereka yang putus asa sering terdorong untuk mendatangi Rumah Hening, berharap kekayaan instan. Desakan kehidupan dan kemiskinan yang mencekik sering kali mengalahkan rasa takut mereka. Namun, satu per satu mereka yang masuk ke dalam rumah itu, tidak pernah kembali sama. Sebagian tidak pernah kembali sama sekali.
Desa itu dipenuhi cerita tentang orang-orang yang mendadak kaya setelah kunjungan mereka ke Rumah Hening. Ladang mereka melimpah, perniagaan mereka berkembang, namun kebahagiaan tak pernah menyertai mereka. Tatapan kosong dan tubuh yang mulai lemah menjadi tanda pertama. Lalu, suara-suara aneh terdengar dari balik dinding rumah mereka setiap malam---suara-suara yang hanya bisa mereka dengar. Dan pada akhirnya, mereka akan menghilang. Tidak pernah ditemukan, hanya menyisakan desas-desus yang semakin mencekam.
Bertahun-tahun yang lalu, seorang pria bernama Arga tiba di Kampung Selaksa, sebuah desa yang seolah terputus dari dunia luar, di mana kabut menggantung sepanjang hari, dan desas-desus tentang kuasa gaib beredar tanpa henti. Arga datang dengan beban berat di pundaknya---kesulitan hidup yang tak pernah usai. Â
Arga tumbuh dalam kemiskinan yang membelenggunya sejak kecil. Ayahnya seorang petani dengan ladang yang tak pernah menghasilkan lebih dari cukup untuk sekadar bertahan hidup, dan ibunya meninggal ketika Arga masih sangat kecil. Sejak kecil, ia terbiasa melihat keluarganya berjuang keras hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Setiap musim panen yang gagal adalah tambahan luka baru bagi Arga dan ayahnya---bertambah utang di sana-sini, penghinaan dari orang-orang kaya di desa, dan tatapan sinis dari mereka yang hidup lebih baik.
Namun, yang benar-benar menggoreskan luka terdalam dalam hidup Arga adalah kematian ayahnya. Sang ayah jatuh sakit, dan karena kemiskinan yang mereka alami, tidak ada uang untuk membawanya ke dokter atau membeli obat-obatan. Arga hanya bisa menyaksikan ayahnya terbaring lemah di ranjang, tubuhnya kian hari kian kurus, sampai akhirnya hembusan napas terakhir meninggalkan bibir ayahnya, tanpa perlawanan. Kepergian sang ayah menyisakan kehampaan, tetapi juga dendam dalam hati Arga terhadap nasib malang yang selalu menghantuinya.
Sejak saat itu, kehidupan Arga makin terpuruk. Ia harus mengurus ladang kecilnya seorang diri, namun tanah yang ia miliki lebih mirip tanah mati---kering, tandus, dan tidak menghasilkan apa-apa. Hujan jarang turun, dan apa pun yang ia tanam, selalu gagal tumbuh. Setiap hari, ia harus menanggung tatapan kasihan dari para tetangga yang terkadang melemparkan beberapa biji beras untuk sekadar membuatnya tetap hidup. Tetapi bagi Arga, setiap tatapan itu terasa seperti penghinaan yang membakar harga dirinya.
Puncak penderitaannya terjadi ketika seorang saudagar kaya di desa yang terkenal tamak dan licik datang untuk mengambil satu-satunya peninggalan berharga dari almarhum ayahnya---sepetak ladang kecil yang pernah menjadi sandaran hidup keluarganya. Utang yang terus menumpuk karena kegagalan panen membuat ladang itu tak bisa lagi diselamatkan. Di hadapan semua orang, Arga dipaksa menandatangani dokumen penyerahan tanah milik keluarganya. Saudagar itu tersenyum sinis saat menarik dokumen itu dari tangannya, meninggalkan Arga berdiri dalam kekosongan, kehilangan tanah, martabat, dan harapannya.
Tanpa tanah, tanpa uang, dan tanpa keluarga, Arga menjadi bahan cemoohan di desa. Dia hidup dalam kemiskinan yang lebih dalam daripada sebelumnya, merasakan setiap penghinaan yang dilontarkan padanya seperti luka yang tak pernah sembuh. Orang-orang mulai melupakannya, hanya memandangnya sebagai pria miskin yang tak punya masa depan. Setiap malam, Arga duduk di dalam gubuk reyotnya, mengutuki nasib dan memohon kepada langit agar diberi satu kesempatan untuk mengubah hidupnya.
Namun, kesempatan itu tidak pernah datang---sampai malam ketika ia bertemu dengan kakek tua misterius di pinggir hutan. Kakek itu muncul seperti jawaban atas doa-doanya yang penuh keputusasaan. Saat kakek itu menawarkan janji kekayaan, Arga teringat semua luka dan penderitaan yang telah ia alami. Kematian ayahnya yang menyakitkan, hilangnya satu-satunya ladang yang ia miliki, serta penghinaan dan penolakan yang terus-menerus ia rasakan.