Mohon tunggu...
SANG GURU BIMBEL
SANG GURU BIMBEL Mohon Tunggu... Guru - Sang Guru Management

SANG GURU MANAGEMENT LKP SANG GURU LPK SANG GURU TOKO SG BEAUTY

Selanjutnya

Tutup

Horor

Kutukan Panti Semesta

21 Oktober 2024   15:32 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu hujan turun deras di Panti Asuhan Semesta, membasahi jalanan berkerikil dan mempergelap suasana. Tempat ini berdiri megah namun terpencil di pinggir hutan, seolah menjauhkan dirinya dari dunia luar. Sejak pertama kali Amara ditugaskan menjadi guru di sana, perasaan tak nyaman terus menyelimutinya."Amara, kamu pasti hanya lelah," ujar Bu Mirna, pengelola panti, dengan nada datar seperti biasa. Matanya yang tajam bersembunyi di balik kacamata tipis. "Anak-anak sering mengarang cerita menyeramkan untuk menakut-nakuti."

Namun Amara tahu ada yang tidak beres. Setiap malam, suara-suara aneh terdengar dari ujung lorong. Bayangan bergerak di sudut-sudut gelap, meski tak ada seorang pun di sana. Bahkan udara di dalam panti terasa lebih dingin, lebih pekat, seolah menyimpan sesuatu yang tak kasatmata.

"Bu, ada yang tidak beres di sini. Saya merasa... seolah ada yang mengawasi saya setiap waktu. Bayangan itu, suara-suara itu, mereka nyata!", Amara berusaha meyakinkan Bu Mirna, tetapi wanita itu hanya tersenyum tipis.

"Jangan biarkan imajinasi mengambil alih, Amara. Di sini, kita hanya mengurus anak-anak yang membutuhkan bantuan, bukan cerita-cerita hantu."

Amara tidak menjawab, tetapi hatinya berdebar kencang. Ia merasa kehadiran sesuatu yang tidak kasatmata semakin nyata, semakin dekat. Dalam keheningan malam, suara bisikan mulai terdengar lagi---seolah ada yang membisikkan kata-kata dalam bahasa asing di telinganya. Dan ia merasa ada yang menatap dari balik kegelapan.

***

Suatu malam, ketika Amara tengah mengajar anak-anak panti, ia menyadari ada seorang anak yang duduk terpisah dari yang lain. Ia mengenal anak itu---Raka, bocah pendiam yang sering berbicara sendiri. Ia jarang berinteraksi dengan anak-anak lain, tetapi malam itu, sorot matanya aneh.

Saat kelas selesai, Amara mendekati Raka. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut. Anak itu hanya menatap lantai, lalu berbisik, "Dia datang lagi tadi malam."

Siapa? pikir Amara, tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Raka melanjutkan dengan suara gemetar. "Dia bilang... aku tidak boleh bilang sama siapa pun. Tapi aku takut, Kak."

Amara menelan ludah. "Siapa yang kamu maksud, Raka?"

"Aruna," bisik Raka, "dia tinggal di sini, di panti ini. Tapi dia tidak seperti kita."

Amara merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Nama itu, Aruna, pernah ia dengar dari bisik-bisik anak-anak yang ketakutan. Namun tak ada yang benar-benar menjelaskan siapa atau apa Aruna itu.

"Aruna? Siapa dia, Raka?" Amara memandang anak itu, berharap ia bisa mendapatkan jawaban yang lebih jelas.

Raka menatap lurus ke mata Amara, dan kali ini suaranya sangat pelan, hampir tak terdengar. "Dia... bukan manusia, Kak. Dia tinggal di sini sejak lama... dan dia tidak suka orang-orang baru."

"Raka, kamu pasti hanya bermimpi buruk," Amara mencoba menenangkan, meski dadanya kini terasa sesak oleh rasa takut yang mulai tumbuh.

"Tidak, Kak," Raka menggeleng cepat, "Dia nyata. Dan dia... akan datang lagi malam ini. Dia bilang dia ingin bertemu dengan Kakak."

Mendengar itu, jantung Amara seolah berhenti. Matanya membelalak, tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, pintu kelas terbuka dan Bu Mirna masuk. Tatapan dingin wanita itu seolah menyapu setiap sudut ruangan, memastikan tak ada yang salah.

"Sudah malam. Anak-anak harus tidur," ucapnya tanpa emosi.

Raka segera berdiri dan berlari keluar tanpa sepatah kata pun lagi. Amara hanya bisa memandangi kepergiannya dengan perasaan yang bercampur aduk antara ketakutan dan penasaran.

***

Malam semakin larut, dan hujan di luar masih deras. Amara duduk di kamar tidurnya, matanya tertuju pada jendela yang memantulkan bayangan samar dirinya. Suara bisikan itu datang lagi. Kali ini lebih jelas. Kata-kata yang tak dimengerti, tetapi terasa begitu menakutkan.

"Kau tidak boleh di sini..."

Amara tersentak. Suara itu terdengar jelas, bukan dari dalam pikirannya. Perlahan ia berdiri dan melangkah menuju pintu kamar. Di ujung lorong yang gelap, bayangan panjang bergerak pelan---seperti ada yang berjalan mendekat. Amara menghela napas pendek, jantungnya berdebar cepat.

Saat ia melangkah lebih dekat ke ujung lorong, sebuah suara menggelegar di belakangnya. "Jangan pergi ke sana!"

Amara berbalik. Itu Raka. Anak itu berdiri di pintu kamarnya dengan wajah pucat.

"Raka? Apa yang kamu lakukan di sini?" Amara berbisik panik, tetapi suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar.

"Kak, dia datang. Kakak harus keluar dari sini. Dia... dia ingin Kakak."

"Siapa, Raka? Aruna?" Amara berusaha tetap tenang, tetapi kakinya bergetar.

Raka hanya mengangguk lemah. "Dia tidak suka Kakak ada di sini. Dia ingin Kakak pergi... atau Kakak akan seperti yang lain."

Tiba-tiba, Amara merasakan hawa dingin menyelimutinya. Sesuatu di belakangnya. Bayangan yang semakin mendekat. Amara menoleh dengan gemetar dan melihat sosok gelap berdiri di ujung lorong---tinggi, tanpa wajah, dan seluruh tubuhnya tampak memancar kegelapan pekat.

"Kakak..." suara Raka hampir tak terdengar, "lari."

Tanpa pikir panjang, Amara menarik tangan Raka dan berlari sekuat tenaga. Suara langkah kaki sosok itu menggema di belakang mereka. Terdengar berat, menghantam lantai dengan setiap langkahnya. Setiap detik berlalu seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Nafas Amara tersengal-sengal, ia merasa seperti dikejar oleh sesuatu yang tak terelakkan.

Mereka tiba di ruang tengah. Jantung Amara berdetak kencang, kepalanya pusing. Tapi di sana, di tengah ruangan, Bu Mirna dan Bu Wulan sudah menunggu, berdiri tegak dengan tatapan dingin.

"Bu Mirna, tolong, kita harus keluar!" seru Amara dengan putus asa.

Namun wanita itu hanya tersenyum. "Sudah terlambat, Amara."

Tatapan Bu Wulan tajam, matanya menyipit seperti sedang mengamati sesuatu yang tidak penting. "Kamu seharusnya tidak pernah mencari tahu."

Di detik itu, Amara menyadari kebenaran yang mengerikan. Panti ini bukan hanya rumah bagi anak-anak yatim piatu, tetapi juga tempat bersemayam bagi entitas-entitas yang lebih tua, lebih gelap, dan lebih berbahaya dari yang ia bayangkan. Dan Bu Mirna serta Bu Wulan... mereka bukan pengelola biasa. Mereka bagian dari misteri gelap ini, menjaga agar rahasia panti tetap tersembunyi.

Sebuah suara rendah bergema di ruangan. Suara Aruna. "Kau tidak akan bisa pergi, Amara."

Sosok itu muncul di balik bayangan, semakin mendekat, semakin nyata. Amara merasa tubuhnya membeku. Hawa dingin menusuk kulit, membuatnya sulit bernapas. Raka menggenggam tangannya erat, tetapi di matanya, Amara bisa melihat satu hal yang tak bisa dipungkiri: ketakutan bahwa mereka tak akan bisa lolos dari sini.

Amara berdiri membeku, matanya terpaku pada sosok Aruna yang kian mendekat. Bayangan hitam itu bukan hanya gelap---ia terasa hidup, seolah memiliki kehendak sendiri. Suara bisikan samar terdengar semakin keras di telinganya. Tubuhnya gemetar hebat, namun tangannya tak lepas menggenggam erat tangan Raka.

"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Amara bertanya dengan suara bergetar, matanya beralih ke Bu Mirna dan Bu Wulan. "Apa kalian yang membawa Aruna?"

Bu Mirna tersenyum tipis, tanpa sedikit pun keraguan atau rasa takut. "Aruna bukan makhluk yang kami bawa ke sini. Dia sudah ada sejak lama. Jauh sebelum panti ini berdiri."

Amara merasa dadanya semakin sesak. "Apa maksudmu?"

"Ini bukan panti biasa, Amara." Bu Wulan melangkah maju. Suaranya dingin, matanya tajam mengawasi setiap gerakan Amara. "Tempat ini adalah perantara dunia kita dan dunia lain. Setiap anak yang datang ke sini... adalah persembahan."

"Persembahan?" Amara menelan ludah, napasnya memburu. Kini semuanya masuk akal---bayangan-bayangan, suara-suara aneh, anak-anak yang berbicara tentang Aruna. Panti ini bukan sekadar tempat tinggal bagi anak-anak yatim piatu; ia adalah tempat di mana sesuatu yang jauh lebih gelap disembunyikan.

"Aruna menjaga panti ini. Dia memastikan bahwa rahasia ini tetap terkubur," sambung Bu Mirna. "Anak-anak yang datang ke sini membawa energi yang dibutuhkan Aruna untuk tetap hidup. Dan kau, Amara... kau datang tanpa tahu bahwa kau telah melangkah terlalu jauh."

Amara merasakan kengerian mengalir deras dalam darahnya. Ia mundur perlahan, matanya masih tak lepas dari sosok gelap yang kini hampir menyentuhnya. "Lalu apa yang kalian inginkan dariku? Apa aku juga bagian dari persembahan itu?"

Bu Wulan tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar seperti gema yang mengerikan. "Tidak. Kau istimewa. Kau berbeda. Aruna menginginkanmu, Amara."

Raka, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbisik di telinga Amara. "Kita bisa melawannya, Kak. Kita bisa menghentikan ini."

Amara menoleh bingung. "Bagaimana, Raka? Apa yang kau tahu?"

Raka menatap Amara dengan mata yang penuh ketakutan, tetapi juga ada kilatan keberanian di sana. "Aruna terikat pada panti ini, tapi dia bisa dihentikan. Ada ruang di bawah tanah. Dulu, sebelum panti ini berdiri, tempat itu digunakan untuk ritual pemanggilan. Di sanalah semua dimulai."

"Di bawah tanah?" Amara menyipitkan mata, mencoba memproses informasi itu.

"Ya," kata Raka lagi. "Jika kita bisa sampai ke sana dan memutuskan ikatannya, Aruna akan menghilang. Selamanya."

Amara menelan ludah. Bagaimana mungkin seorang anak tahu hal-hal seperti ini? Tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Bu Mirna bergerak cepat ke arah mereka.

"Kalian tidak akan bisa melarikan diri," ucap Bu Mirna dingin, suaranya serak dan penuh ancaman. Aruna kini semakin dekat, bayangannya menyelimuti Amara seperti kabut pekat yang mencekik.

Tanpa pikir panjang, Amara menarik Raka dan berlari. Mereka berdua melesat ke arah tangga, turun menuju lorong bawah tanah yang gelap dan berdebu. Suara langkah kaki berat Bu Mirna dan Bu Wulan menggema di belakang mereka, diiringi oleh suara-suara aneh dari Aruna yang semakin mencekam.

"Di sini, Kak! Ikuti aku!" seru Raka, menarik Amara menuju sebuah pintu tua yang tertutup oleh debu tebal.

Amara mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya terbuka dengan bunyi berderit yang memekakkan telinga. Di balik pintu itu, mereka menemukan ruangan besar yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang terukir di lantai. Di tengah-tengah ruangan, terdapat lingkaran besar yang tampak seperti altar ritual.

"Kau yakin ini tempatnya, Raka?" tanya Amara dengan napas tersengal, menatap ke sekitar dengan cemas.

Raka mengangguk, matanya penuh keyakinan. "Ini dia. Di sini, Aruna pertama kali dipanggil. Kita harus menghancurkan lingkaran ini."

Amara tidak punya waktu untuk meragukan kata-katanya. Ia mengambil sebuah batu besar yang tergeletak di lantai dan mulai menghantamkan batu itu ke lingkaran di tengah ruangan. Setiap pukulan terasa seolah mematahkan sesuatu yang tak terlihat, dan semakin ia menghancurkan simbol-simbol itu, suasana ruangan semakin bergetar.

Tiba-tiba, suara jeritan tajam memenuhi ruangan. Aruna muncul di tengah-tengah lingkaran, tubuhnya yang tinggi dan gelap tampak meliuk-liuk dengan marah. "Berhenti!" suara itu menggelegar, menggema di seluruh ruangan.

Namun Amara terus menghancurkan lingkaran itu. Tangan dan kakinya gemetar, tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kengerian ini.

Saat pukulan terakhir menghancurkan lingkaran sepenuhnya, Aruna mengeluarkan jeritan yang begitu menyakitkan, seolah seluruh entitasnya terurai menjadi kabut hitam. Sosoknya memudar, larut dalam bayangan yang perlahan-lahan menghilang. Kegelapan yang selama ini meliputi panti asuhan mulai memudar.

Amara jatuh terduduk, napasnya terengah-engah. Raka, yang berdiri di sampingnya, tampak lelah namun lega. "Kita berhasil, Kak," bisiknya pelan.

Pintu di belakang mereka terbuka, dan Bu Mirna serta Bu Wulan berdiri di sana dengan tatapan marah. Tapi kini, mereka tampak lemah, seolah kekuatan yang melindungi mereka telah lenyap bersama dengan Aruna.

"Kalian..." Bu Mirna menggeram, tetapi suaranya terdengar lebih lemah dari sebelumnya. "Kalian sudah menghancurkan segalanya."

Amara berdiri, tubuhnya gemetar namun tatapannya penuh keberanian. "Panti ini akan kembali menjadi tempat yang aman. Dan kalian... kalian akan membayar untuk semua ini."

Tanpa Aruna, Bu Mirna dan Bu Wulan tak lagi memiliki kuasa. Mereka mundur, menyadari bahwa waktu mereka di tempat ini sudah berakhir. Kebenaran tentang panti asuhan Semesta akhirnya terungkap. Misteri yang selama ini menyelubungi tempat itu---bayangan yang menghantui, bisikan yang menakutkan---semuanya adalah akibat dari ritual gelap yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Amara jatuh terduduk di lantai, napasnya terengah-engah. Di sebelahnya, Raka berdiri dengan wajah pucat, namun ada secercah kelegaan di matanya. Lingkaran ritual yang mereka hancurkan kini tak lagi utuh---simbol-simbol gelap yang dahulu mengikat Aruna telah musnah. Jeritan Aruna yang terakhir tadi menggema dan perlahan memudar, bersama sosoknya yang perlahan menghilang dalam kegelapan abadi.

Namun, ini belum berakhir. Amara menoleh ke arah pintu, tempat Bu Mirna dan Bu Wulan berdiri dengan tatapan penuh kebencian. Wajah mereka masih tampak dingin, namun ada sesuatu yang berbeda. Tubuh mereka mulai goyah, dan kilatan amarah di mata mereka perlahan memudar menjadi ketakutan.

"Kalian... menghancurkan semuanya," gumam Bu Mirna, suaranya terdengar parau, hampir bergetar. Ia melangkah maju, tetapi tubuhnya terlihat lebih lambat, seolah-olah energinya tersedot keluar.

Rasa dingin menjalari udara saat Amara menyaksikan sesuatu yang aneh terjadi pada kedua wanita itu. Awalnya hanya samar-samar---kerutan mulai tampak di wajah Bu Mirna, kulitnya yang mulus tiba-tiba terlihat kering dan rapuh. Bu Wulan, yang biasanya berdiri tegak, kini tampak bungkuk, rambutnya yang hitam lebat mulai memutih.

Amara ternganga melihat perubahan yang begitu cepat. Tubuh kedua wanita itu, yang selama ini tampak seperti tak tersentuh oleh waktu, mulai menua dengan kecepatan yang mengerikan. Keriput menyelimuti wajah dan tangan mereka, rambut mereka berubah dari hitam menjadi abu-abu, lalu memutih seluruhnya. Pakaian yang mereka kenakan tampak semakin besar di tubuh mereka yang mengecil dan membungkuk.

"Tidak! Ini tidak mungkin!" Bu Wulan menjerit, suaranya bergetar oleh ketakutan. Tangannya yang kini kurus dan penuh keriput meraba wajahnya, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia jatuh tersungkur ke lantai, tubuhnya gemetar lemah.

"Aruna...," desis Bu Mirna dengan suara yang serak. "Dia... sudah mengikatkan kekuatan hidupnya pada kami... selama bertahun-tahun... untuk menjaga usia kami tetap muda..."

Raka menatap Amara dengan tatapan penuh pemahaman. "Kak, tanpa Aruna, mereka tidak punya apa-apa lagi. Mereka... hidup dari kekuatan gelap yang Aruna berikan. Sekarang semuanya hilang."

Bu Mirna berusaha meraih sesuatu di udara, seolah mencoba mempertahankan sisa-sisa kekuatan yang hilang. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Kakinya gemetar, dan akhirnya ia terjatuh di samping Bu Wulan, yang hanya bisa meringkuk ketakutan. Wajah mereka kini tampak seperti nenek-nenek renta, jauh berbeda dari sosok angkuh dan dingin yang Amara kenal sebelumnya.

"Kalian... tidak tahu apa yang sudah kalian lakukan...," gumam Bu Mirna dengan napas yang tersengal. "Tanpa kami... panti ini... akan terus dihantui."

Amara berdiri dengan tubuh gemetar, namun matanya tak lagi menyimpan ketakutan. "Panti ini akan pulih tanpa kalian," ucapnya tegas. "Kebohongan kalian sudah berakhir."

Bu Wulan hanya bisa memandang dengan mata kosong, mulutnya terbuka tanpa kata-kata. Sisa-sisa kehidupan yang pernah mereka serap dari Aruna kini menguap, meninggalkan tubuh mereka yang rapuh dan renta, sekarat di lantai dingin itu. Mereka tidak lebih dari bayangan masa lalu yang terlupakan---penguasa yang kehilangan kekuatannya seketika.

Amara mengulurkan tangan pada Raka, yang masih berdiri di sisinya. "Ayo, Raka. Kita harus keluar dari sini."

Raka menggenggam tangan Amara erat. Mereka meninggalkan ruang bawah tanah itu, meninggalkan Bu Mirna dan Bu Wulan yang sekarat dalam kegelapan. Ketika mereka mencapai permukaan, panti asuhan Semesta kini terasa berbeda. Suasana yang sebelumnya berat dan suram kini terasa lebih ringan, meski sisa-sisa dari bayangan gelap Aruna masih samar terasa di udara.

Malam itu, Amara tahu bahwa panti asuhan ini telah terbebas dari kutukan yang selama ini membelenggunya. Misteri itu akhirnya terungkap. Bayangan gelap Aruna dan kekuatan jahat yang mengendalikan Bu Mirna dan Bu Wulan telah berakhir. Namun, Amara sadar, meski kekuatan Aruna telah dihancurkan, ingatan tentang kegelapan panti itu mungkin akan terus membayangi.

Tapi kali ini, panti Semesta akan menjadi tempat yang aman---untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Dan Amara, dengan segala ketakutan dan keberaniannya, telah menjadi saksi akhir dari kengerian itu.

Ketika mereka melangkah keluar, Raka menoleh ke Amara dan berkata, "Kak, kita telah menyelamatkan mereka."

Amara tersenyum lemah, menatap langit malam yang kini bersih dari awan. "Ya, Raka. Kita telah menyelamatkan mereka... dan diri kita sendiri."

***

Oleh. Arini Dian Novitasari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun