Sebenarnya tak ada tangisan jika semua baik-baik saja. Juga tak ada tawa jika semua tidak baik-baik saja.
Ketika tangis dan tawa berkelindan, sesungguhnya jiwa sedang berfatamorgana. Seperti menyaksikan telaga di hamparan gurun, kita pasti berlari dari kedahagaan abadi dengan kaki-kaki yang sudah lemah dan keringat bercucuran.Â
Ketika tangis dan tawa bersama-sama keluar dari bola mata dan mulut, maka siapa yang salah menilai, jika pemilik keduanya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.Â
Antara kegelisahan jiwa dan kebahagiaan semu, keduanya bertemu di sudut waktu tentang bagaimana memaknai hidup yang tak abadi ini.
Tangis dan tawa berkelindan menyisahkan sebuah kisah antara ada dan tiadanya harapan juga mimpi yang tergelung ombak di samudera tanpa adanya pantai sebagai tempat kaki berpijak lalu melangkah menuju satu tempat bernama kebahagiaan.Â
Ketika engkau menangis seraya tertawa, orang lalu menilaimu gila dan sinting, padahal bukan itu sebenarnya makna dari tangis dan tamu mu itu.
Sebegitu mudah orang memberi nilai pada raut wajah dengan segenap mimiknya, sedangkan bathin dan jiwa tidak menggambarkan apa yang orang nilai tersebut.Â
Kenapa tertawa menjadi perlambang bahagia dan tangis melukiskan kesedihan.Â
Tiada yang bisa membalik antara tangis dan tawa tadi sebagai sebuah wujud rasa.