Sejak memutuskan hijrah, cobaan dan ujian justru lebih banyak ku hadapi. Terutama datang dari Pras. Dia masih terus berusaha ingin mengambil Halimun dariku. Bahkan yang membuat ku terkadang tak kuat menahan cobaan itu, ketika Pras terus mengungkit masa laluku.
Aku berusaha menahan diri dari ini semua. Pikiranku harus fokus. Apapun yang Pras lakukan terhadap ku dan juga Halimun, sebisa mungkin harus bisa ku redam.
Aku berpikir akan tetap menyelesaikan tapi secara baik-baik. Aku berusaha berbesar hati dan memaafkan Sulastri, anak-anaknya, juga Pras.
Mungkinkah aku bisa melakukan itu? Sementara belakangan ini, ku kerap dibayang-bayangi oleh ibu dan bapak. Mereka seperti menghantui dan meminta pertanggungjawaban ku.
Kata orang-orang, ku harus berziarah ke makam bapak dan ibu di kampung dan mendoakan, agar ku tenang.
Sebelumnya:Kalam di Ujung Dosa
Lalu ku ajak Halimun pulang kampung menggunakan bis. Dalam perjalanan, entah kenapa pikiranku tidak tenang. Halimun berusaha menghibur. Dia menceritakan kelucuan Ngarai, kekasihnya.
Baru sepertiga waktu perjalananan menuju kampung, bis yang membawaku, pecah ban di tengah hutan. Cukup lama sopir dan kernetnya memperbaiki ban yang pecah tersebut.
Karena waktu itu hari kerja, penumpang bis tidak terlalu banyak. Salah seorang penumpang perempuan setengah baya, nampak memperhatikanku. Dia lalu menghampiri ku.
"Mba Ivona ya." perempuan setengah baya itu langsung sebut namaku.
"Iya betul. Ibu siapa?" tanyaku.
"Saya Lasmi, adik dari dukun beranak yang membantu persalinan ibumu"
Sebelumnya:Muhasabah Sebelum Bebas
Aku langsung flashback. Bagaimana mungkin saat itu datang dukun beranak, karena bapak tidak sempat memanggilnya.
Perempuan paruh baya itu kemudian menjelaskan peristiwa sebenarnya yang Dia tahu. Katanya, waktu itu, ibu tidak meninggal saat ku dilahirkan. Ibu meninggal setelah beberapa bulan aku diasuhnya.
Jadi betul kata Pras, ibu tewas karena ulah Sulaatri. Ibu tewas di tangan bapak atas perintah Pak Amrih dan istrinya, aku membathin.
"Jadi ibu kenal dengan Pak Amrih dan istrinya, Sulastri?'tanyaku.
Perempuan paruh baya itu tak langsung menjawab. Dia memperhatikanku dengan seksama.
"Kamu bisa manpir ke rumah saya setelah kita sampai nanti"katanya, membuatku penasaran.
Sebelumnya:Halimun di Siang Hari
Bis sudah normal kembali bannya. Sang sopir kembali melanjutkan perjalanan.
Akhirnya aku, Halimun dan perempuan paruh baya itu sampai di kampung. Aku mengatakan untuk pulang dulu ke rumah pakde ku, baru setelah itu ke rumahnya. Perempuan tua itu mengiyakan.
Setelah istirahat di rumah pakde, aku ke rumah bu Lasmi. Halimun tidak ikut. Sebenarnya aku mau langsung ziarah, tapi karena bu Lasmi membuat penasaran, aku menemuinya dulu.
Sebelumnya:Pras, Cinta dan Penjara Masa Lalu
Di rumahnya, Bu Lasmi memperlihatkan foto-foto kakaknya, dukun beranak yang sudah tiada itu. Aku langsung percaya begitu saja. Bu Lasmi kemudian duduk di depanku. Dia mulai bercerita perihal kematian ibu.
Apa yang diceritakan Bu Lasmi memang tidak sama persis dengan cerita Pras. Bu Lasmi sebut, ibu wafat dengan sangat tragis. Wajah cantiknya dirusak sehingga ibu menemui ajal.
"Sampai saat ini saya dan penduduk kampung tidak tahu dimana jasad ibumu" cerita Bu Lasmi.
Sebelumnya:Terdampar di Noumea
Aku langsung bergidik. Bingung dan penasaran dengan cerita Bu Lasmi.
"Kalau kamu tidak yakin, bisa tanya kepala desa. Kepala desa di sini tahu semua. Tapi Dia sudah meninggal. Adiknya, Bu Srie juga tahu " jelas Bu Lasmi lagi.
Aku bergegas ke rumah Bu Srie, tak jauh dari rumah Bu Lasmi.
Apa yang diceritakan Bu Lasmi tadi, sedikitpun tak disangkal Bu Srie.
Saat itulah aku merasa satu ujian dan cobaan datang kepadaku.
Sebelumnya:Mencari Bayu
Aku tanya semua cerita kedua perempuan paruh baya itu ke Pakde. Semula Pakde berpura-pura tidak tahu dan menyangkal cerita tersebut. Tapi setelah kudesak, Pakde akhirnya membenarkannya.
Pikiranku makin tak karuan. Aku mengajak Halimun ke makam ayah dan ibu. Ternyata makam ibu memang tak ada. Yang kutahu waktu itu, ibu memang dimakamkan bersebelahan dengan bapak. Tapi aku belum pernah ke sana karena waktuku habis di Jakarta dan mendekam di penjara.
Di sana hanya ada makam bapak saja. Aku dan Halimun kemudian berziarah dan membacakan doa-doa untuk ketenangan bapak. Tak lama, aku menutuskan pulang ke rumah Pakde.
Mengapa saat ku pulang kampung untuk berziarah dan berdoa di makam orangtua, justru satu masalah baru kuperoleh? Semuanya tidak bisa kudiamkan begitu saja. Aku harus menguak misteri ini.
Sebelumnya:Â Story About Ivona (Part 1)
Dimana ibu dimakamkan? Siapa yang menguburkan ibu? Kalau pun jasadnya dibuang, dibuang kemanakah? Semua pertanyaan itu menggayut di benakku.
Aku akhirnya memutuskan untuk mencari tahu semua ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H