Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

KH. Mahrus Amin: Jiwa Besar Dibangun dari Kerendahan Hati

27 November 2015   01:35 Diperbarui: 27 November 2015   02:51 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjalan perlahan sambil melihat bangunan, tanaman dan manusia lalu lalang yang dilaluinya. Seorang pelajar laki-laki usia belasan menghampiri dan bersalaman sambil mencium tangannya. Belum berapa jauh ada lagi laki-laki yang usianya tampak lebih senior kembali menyapanya dan bersalaman. “Assalamualaikum, Ustadz,” sapa pria yang berkemeja panjang dengan dasi warna biru, sambil mencium tangannya.

Pria yang disapa dengan “Ustadz” tampak berbicara serius sambil menggerakkan tangannya. Seolah memberi suatu instruksi kepada pria berdasi yang tampil perlente. Tidak terdengar apa yang dibicarakan. Namun tampak pria sepuh yang dipanggil “Ustadz” ini adalah orang yang cukup berpengaruh di tempat ini.

Penampilan “Ustadz” ini sekilas seperti pejabat. Dengan baju safari berwarna biru gelap, kopiah hitam dan sorban putih melingkar di lehernya. Perjumpaan pertama yang cukup membuat jantung berdebar.

Membuat janji untuk wawancara dengan “ustadz” bukanlah perkara mudah. Selain soal kesibukan yang tidak lazim untuk pria seusianya, mengasuh banyak pondok pesantren yang tidak hanya di Jakarta. “Ustadz” juga terkenal sangat disegani dan merupakan sosok yang kalau dia berbicara bahkan suara degup jantung pun bisa terdengar berirama menyimak suaranya.

Waktu menunggu yang hampir satu jam terasa terlalu pendek untuk mempersiapkan mental menghadapi wawancara dengannya. Padahal jauh sebelumnya segala persiapanpun sudah dilakukan.

“Assalamualaikum, Kiyai,” ujarku seketika laki-laki sepuh itu beberapa langkah mendekatiku. Sekonyong-konyong kata “Kiyai” terlontar sebagai sapaku untuknya. Kusambut tangannya dan seperti pria perlente yang tadi kulihat, kubenamkan muka dipunggung tangannya. Bersalaman, dan dijawabnya salamku. Rasa was-wasku terlewati kali ini.

Kuperkenalkan diri dan sampaikan maksud wawancaraku. Dengan ramah diajaknya aku ke ruang biasa dia menerima tamu dari luar lingkungan pesantren. Sambutan ramah dan ruang penerimaan tamu yang nyaman kembali meluluhkan kegundahan.

Kesan “pejabat” pondok yang dalam bayanganku akan membangga-banggakan diri sontak sirna saat KH Mahrus Amin, pendiri Pesantren Darunnajah, menguraikan pengalamannya membesarkan Pesantren Darunnajah.

“Mengingat tentang pengalaman, bahwa selama membangun, mengasuh, memimpin dan mengembangkan pondok pesantren (Darunnajah-red), itu 54 tahun. Ustadz yakin bahwa tidak semata-mata dari pribadi ustadz. Tetapi merasa sepertinya doa dari sesepuh, orang tua, itulah yang memberikan wawasan dan, menggiring sehingga Darunnajah sebesar dan semaju sekarang ini. Jadi adalah berkat sesepuh, leluhur” paparnya.

Seketika aku teringat kejadian beberapa waktu lalu dimana para kiyai sepuh disebuah organisasi besar Islam di Indonesia berlomba menihilkan dirinya disaat pemilihan calon pemimpin organisasi. Para kiyai sepuh berloma-lomba mengutarakan “ketidakpantasan”nya untuk menjabat pemimpin di organisasi yang terbilang sangat strategis tersebut.

Aura ini juga yang tampak disaat kiyai yang sudah lebih 100 pesantren di diasuhnya menjawab pertanyaan soal pengalaman membesarkan Pondok Pesantren Darunnajah.

Walau terbata-bata mengingat silsilah keluarga dan kiyai yang menjadi inspiratornya, KH Mahrus Amin, dengan takzim menyebutkan satu persatu orang yang menurutnya berjasa mengarahkan dirinya dalam memperjuangkan berdirinya pesantren.

Dia menyebut Kiyai Idris (Sesepuh Cirebon) yang adalah teman KH Hasyim Asy’ari, KH Muharram (kakeknya), Prof. Thohir Abdul Muin dan banyak lainnya yang menurut dia membimbingnya sehingga dapat memimpin pesantren pertama kali diusianya yang baru 21 tahun saat itu.

Penjelasan yang demikian ini ternyata tidak hanya disuarakan oleh Ustadz Mahrus yang juga merupakan alumni dari Pondok Modern Darussalam Gontor. Bahkan pimpinan pondok tempat belajarnya pun selalu menyebut jasa sesepuh dan kiyai pendahulunya untuk menceritakan keberhasilan membangun Kiblat Pesantren Modern di Indonesia ini. Maka tidak heran apabila orang awam sepertiku akan sulit bahkan hanya untuk memancing kiyai seperti Ustadz Mahrus ini agar mau menyebut jasanya secara pribadi.

Satu pelajaran kupetik dari wawancara yang baru berjalan dimenit pertama. Sifat kerendahhatian yang ditunjukan kiyai ternyata merupakan bentuk kebesaran jiwa yang tidak semua orang dapat mentauladani.

Dari ucapannya kuketahui bahwa dia sudah ditunjuk oleh KH Abdul Manaf Mukhayyar untuk memimpin lembaga pendidikan yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Darunnajah, jauh sebelum dia menikah dengan salah seorang putri KH Abdul Manaf Mukhayyar, penggagas pesantren yang kini berusia 54 tahun.

Dia mejelaskan diusianya yang baru 21 tahun dia mendirikan balai pendidikan Darunnajah pada tahun 1961 (Sekarang menjadi sekolah An Najah, Petukangan).

“Baru(lah) pada tahun 1974, cita-cita pertama dari para pendiri KH Abdul Manaf. Untuk (bentuk) pesantren tahun 1973,” ucapnya. Langkah ini dimulai dari 3 orang santri mukim untuk pertama kalinya di lahan yang masih terbatas saat itu.

Membaca dokumen Pesantren Darunnajah, sebenarnya Kiyai yang lahir di Cirebon 14 Februari 1940 ini patut berbangga. Bagaimana tidak, dia mampu mempimpin bersama dua generasi pimpinan pondok untuk menjaga dan mengembangkan Darunnajah yang saat ini mengelola 677, 5 Ha tanah wakaf. Baik yang dihasilkan dari pengembangan wakaf awal Darunnajah, maupun wakaf pemberian para wakif baru.

Namun tidak demikian tidak tampak sama sekali kesan membanggakan diri, saat dia menceritakan upayanya menjaga, memelihara dan membesarkan Darunnajah. Baik dalam segi pengelolaan pendidikan maupun pengelolaan aset wakaf umat yang dipercayakan kepada Darunnajah.

Justru kiyai yang dibesarkan dilingkungan ulama Cirebon ini menyebut dirinya sebagai “pelayan.” Pelayan bagi Darunnajah dan Madinatunnajah yang didirikannya belakangan. Lebih jauh dia menyebutkan dia adalah pelayan bagi

Badan Kerjasama Jaringan Pondok Pesantren Nusantara. Sebuah lembaga yang mewadahi kerjasama Darunnajah beserta cabang-cabangnya, dan Madinatunnajah beserta seluruh cabang dan binaannya.

Berkenaan dengan upayanya dalam membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan, diakui bahwa Kiyai Mahrus memperoleh inspirasi dari tempatnya mengenyam pendidikan dahulu di PM Darussalam Gontor. Namun dia juga memaparkan bahwa Darunnajah tidak semata-mata meniru secara bulat pola pendidikan yang diaplikasikan di Gontor.

Bersama KH Abdul Manaf Mukhayyar, dia mengembangkan pola yang pada akhirnya mampu membuat ijazah lulusan Pesantren Darunnajah dapat langsung diterima oleh sistem pendidikan nasional guna kelanjutan studi para santri Darunnajah.

“Ijazah Darunnajah dan grupnya ini bisa langsung (digunakan) untuk masuk (test) ke Gadja Mada (UGM), ITB, Kepolisian, Tentara, dan juga keluar negeri baik ke Timur Tengah, Jepang, Cina, itulah kelebihan Darunnajah itu,” ujarnya.

Hal ini sedikit berbeda dengan santri dijamannya yang lulus dari PMDG yang harus mengikuti ujian persamaan agar memperoleh ijazah (umum) untuk mengikuti test masuk di pendidikan tinggi. Karena Darunnajah memberlakukan jenjang pendidikan tingkat atasnya berupa Aliyah dan SMA.

Dia menyebut apa yang dilakukannya sebagai “Kebangkitan Dunia Pesantren Indonesia.”

“Kalau Gontor (PMDG) adalah pelopor pesantren modern dalam arti dakwah dan metode mengajar. Darunnajah (pada masanya) ijazahnya diterima oleh diknas,” jelasnya.

Baru sepuluh menit mendengarkan pengalamannya mendirikan, merawat dan membesarkan Pesantren Darunnajah, rasaku kiyai yang berada dihadapanku adalah orang yang benar-benar memikirkan masa depan bukan hanya lembaganya. Tapi juga memikirkan masa depan peserta didik yang diasuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun