Walau terbata-bata mengingat silsilah keluarga dan kiyai yang menjadi inspiratornya, KH Mahrus Amin, dengan takzim menyebutkan satu persatu orang yang menurutnya berjasa mengarahkan dirinya dalam memperjuangkan berdirinya pesantren.
Dia menyebut Kiyai Idris (Sesepuh Cirebon) yang adalah teman KH Hasyim Asy’ari, KH Muharram (kakeknya), Prof. Thohir Abdul Muin dan banyak lainnya yang menurut dia membimbingnya sehingga dapat memimpin pesantren pertama kali diusianya yang baru 21 tahun saat itu.
Penjelasan yang demikian ini ternyata tidak hanya disuarakan oleh Ustadz Mahrus yang juga merupakan alumni dari Pondok Modern Darussalam Gontor. Bahkan pimpinan pondok tempat belajarnya pun selalu menyebut jasa sesepuh dan kiyai pendahulunya untuk menceritakan keberhasilan membangun Kiblat Pesantren Modern di Indonesia ini. Maka tidak heran apabila orang awam sepertiku akan sulit bahkan hanya untuk memancing kiyai seperti Ustadz Mahrus ini agar mau menyebut jasanya secara pribadi.
Satu pelajaran kupetik dari wawancara yang baru berjalan dimenit pertama. Sifat kerendahhatian yang ditunjukan kiyai ternyata merupakan bentuk kebesaran jiwa yang tidak semua orang dapat mentauladani.
Dari ucapannya kuketahui bahwa dia sudah ditunjuk oleh KH Abdul Manaf Mukhayyar untuk memimpin lembaga pendidikan yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Darunnajah, jauh sebelum dia menikah dengan salah seorang putri KH Abdul Manaf Mukhayyar, penggagas pesantren yang kini berusia 54 tahun.
Dia mejelaskan diusianya yang baru 21 tahun dia mendirikan balai pendidikan Darunnajah pada tahun 1961 (Sekarang menjadi sekolah An Najah, Petukangan).
“Baru(lah) pada tahun 1974, cita-cita pertama dari para pendiri KH Abdul Manaf. Untuk (bentuk) pesantren tahun 1973,” ucapnya. Langkah ini dimulai dari 3 orang santri mukim untuk pertama kalinya di lahan yang masih terbatas saat itu.
Membaca dokumen Pesantren Darunnajah, sebenarnya Kiyai yang lahir di Cirebon 14 Februari 1940 ini patut berbangga. Bagaimana tidak, dia mampu mempimpin bersama dua generasi pimpinan pondok untuk menjaga dan mengembangkan Darunnajah yang saat ini mengelola 677, 5 Ha tanah wakaf. Baik yang dihasilkan dari pengembangan wakaf awal Darunnajah, maupun wakaf pemberian para wakif baru.
Namun tidak demikian tidak tampak sama sekali kesan membanggakan diri, saat dia menceritakan upayanya menjaga, memelihara dan membesarkan Darunnajah. Baik dalam segi pengelolaan pendidikan maupun pengelolaan aset wakaf umat yang dipercayakan kepada Darunnajah.
Justru kiyai yang dibesarkan dilingkungan ulama Cirebon ini menyebut dirinya sebagai “pelayan.” Pelayan bagi Darunnajah dan Madinatunnajah yang didirikannya belakangan. Lebih jauh dia menyebutkan dia adalah pelayan bagi
Badan Kerjasama Jaringan Pondok Pesantren Nusantara. Sebuah lembaga yang mewadahi kerjasama Darunnajah beserta cabang-cabangnya, dan Madinatunnajah beserta seluruh cabang dan binaannya.