Baru-baru ini seorang analis keuangan yang berusia tiga puluh tahun mengeluh kepada psikiater karena selama beberapa bulan dia cenderung menunda-nunda pekerjaannya. Tim Psikiater telah menyelidiki perasaannya terhadap majikannya dan bagaimana hal itu berkaitan dengan perasaannya tentang kewenangan pada umumnya, terutama terhadap orang tuanya.Â
Psikiater telah memeriksa sikapnya terhadap pekerjaan dan keberhasilan, dan bagaimana hal ini berkaitan dengan perkawinannya, identitas seksualnya, hasratnya untuk bersaing dengan suaminya, dan ketakutannya terhadap kompetisi semacam itu. Meskipun dia memenuhi standar dan pekerjaan psikoanalisis yang melelahkan ini, dia terus menunda pekerjaannya seperti biasa.Â
Akhirnya, pada suatu hari, Psikiater memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.Â
"Apakah kamu menyukai kue tar?" Tanya Psikiater kepadanya.Â
Wanita ini menjawab bahwa dia menyukainya.Â
"Bagian mana dari kue itu yang paling kamu sukai?," tanya Psikiater lebih lanjut, "kuenya atau krimnya?"Â
"Oh, tentu saja krimnya!" Jawabnya dengan penuh semangat.
"Bagaimana kamu memakan kue itu?" Psikiater bertanya setengah mendesak, sambil merasakan bahwa mungkin dia adalah psikiater paling bodoh di dunia ini.Â
"Saya akan menghabisi krimnya lebih dahulu," jawabnya.Â
Setelah menanyakan bagaimana dia memakan kuehnya, Psikiater beralih ke masalah lain untuk memeriksa kebiasaan kerjanya, dan sebagaimana diharapkan, Psikiater menemukan bahwa pada hari tertentu dia memanfaatkan jam kerja pertamanya untuk mengerjakan segala sesuatu yang lebih memuaskan dirinya, dan enam jam berikutnya dipakainya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak disukainya.Â
Psikiater memberi tahu dia bahwa bila dia memaksa dirinya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak disenanginya pada jam pertama, dia bisa bebas menikmati enam jam berikutnya.Â