Kalau penjelasan Anies Baswedan, urukan tanah yang memunggungi hutan bakau tersebut masih terkoneksi dengan daratan utamanya. Jadi kawasan itu lebih pantas diberi istilah "pantai".
Langit Pantai Maju bergradasi kelabu. Sebagian kawasan berpagar seng menandakan proyek masih berjalan. Papan-papan reklame, gedung-gedung ruko dan perumahan cluster, truk serta kendaraan lainnya, lebih sering ditemui ketimbang manusianya. Namun jika melihat tatakan meja di samping properti usaha kuliner yang ada, tampak daratan ini dipenuhi manusia hanya kala malam hari.
Saya agak kecewa melihat kenyataan ini. Pulau yang dulu diperbicangkan sebagai Pulau Palsu oleh sebagian kritikus sosial tersebut hanya menyajikan keheningan di balik huru-hara kata-kata.Â
Akibatnya, saya malas mewawancarai segelintir orang yang lewat. Saya lebih suka memotret kegiatan jalan-jalan pagi warga yang melintasi kawasan yang dikungkung emisi zat karbon ini.
Saya juga memberanikan diri masuk ke dalam wilayah proyek. Berpura-pura tak terjadi apa-apa, saya melewati penjaga pintu berseragam biru yang tengah mengawasi kendaraan berat yang datang tiap menitnya.Â
Saya terus berjalan di jalur paving block sejauh 500 meter sebelum akhirnya penjaga itu menghentikan langkah saya dari atas motor.
"Bapak mau ke mana?"
"Ke ujung sana."
"Ini wilayah proyek, pak. Dilarang berada di sini. Bahaya."
Tujuan saya masuk ke wilayah proyek hanya sekedar test the water. Karena, Gubernur DKI kemarin pernah mengatakan bahwa orang umum bisa memasuki Pantai Maju ini; yang sebelumnya terlarang oleh pengusaha propertinya. Ternyata, hal itu tidak benar seluruhnya.Â
Pada dasarnya memang saya yang salah, karena memasuki area proyek memiliki standar khusus.Saya pun balik badan sembari menikmati harmonisasi suara dentuman mesin-mesin berat yang mengisi udara pagi, dan untitan penjaga di atas motor.