Untuk pertama kalinya kaki ini menginjak Pantai Maju, sebuah daratan yang dulu memiliki nama Pulau D yang berada di ujung bagian utara Jakarta. Kehadiran saya di kawasan penuh kontroversi ini merupakan bagian dari Latihan Penulisan yang digagas oleh CLICK Kompasiana.Â
Tujuannya untuk mengaplikasikan materi yang sudah didapat sebelumnya oleh ketiga narasumber yang khusus didatangkan oleh komunitas pemerhati Commuterline di platform Kompasiana ini.
Fanny Jonathan Poyk, Iskandar Zulkarnaen (Bang Isjed), Isson Khaerul, yang menjadi bintang tamu di kegiatan mengasah kemampuan menulis kemarin (2-3 Agustus 2019), memberikan arahan yang saling berkaitan satu sama lain, di mana seorang penulis harus memiliki sensitivitas dalam menggali fenomena di balik sebuah peristiwa.Â
Hal tersebut akan memperkaya khazanah pemikiran dalam dunia literasi digital, dan memberikannya sebuah ciri khas seorang penulis di antara penulis-penulis yang lain.Â
Seperti contoh yang disampaikan Isson Kherul di sesi ketiga pelatihan. Perjalanan dirinya menulis perihal ekonomi keuangan menarik minat perusahaan-perusahaan menggunakan jasa Isson untuk mengulas, serta urun pendapat kala menggunakan sistem keuangan yang dimiliki mereka.
Sejujurnya, saya lebih suka dengan materi pertama yang diberikan Fanny Jonathan Poyk. Sastrawan dan mantan redaktur tabloid anak-anak favorit saya, Tabloid Fantasy, ini dengan indahnya menggambarkan bagaimana memoles rasa kemanusiaan melalui sebuah rangkaian kata-kata.Â
Meski kemudian Bang Isjed lebih membahas kepada rangkaian konten menjadi pundi-pundi uang, saya ikut merasa kagum dengan wawasannya mengenai konten sebagai sumber penghasilan di dunia literasi digital.
Antara sesi pertama dengan sesi kedua, otak saya merasakan kontradiksi. Pening rasanya beranjak dari tema kemanusiaan kemudian melompat ke tema transaksi jual-beli.Â
Sama halnya ketika merasakan guncangan gempa berkekuatan 7 Skala Richter yang berpusat di wilayah Sumur -- Banten tepat setelah melaksanakan sholat Isya. Pening, kaget, bingung, melanda seisi penghuni Graha Wisata Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, saat itu.
Rasa pening itu makin terasa ketika saya ikut berpindah tempat dari kawasan Taman Mini Indonesia Indah ke Pantai Maju pada pagi berikutnya. Mega proyek reklamasi yang kami datangi ternyata sepi pengunjung. Hanya segelintir orang menikmati pagi berkabut debu saat itu.
Dahulu diberi nama Pulau D. Kini, resmi bernama Pantai Maju. Istilahnya menjadi tertawaan publik karena perspektifnya tidak sampai kepada gambaran umum orang-orang tentang pantai yang biasa dipakai untuk berjemur matahari.Â
Kalau penjelasan Anies Baswedan, urukan tanah yang memunggungi hutan bakau tersebut masih terkoneksi dengan daratan utamanya. Jadi kawasan itu lebih pantas diberi istilah "pantai".
Langit Pantai Maju bergradasi kelabu. Sebagian kawasan berpagar seng menandakan proyek masih berjalan. Papan-papan reklame, gedung-gedung ruko dan perumahan cluster, truk serta kendaraan lainnya, lebih sering ditemui ketimbang manusianya. Namun jika melihat tatakan meja di samping properti usaha kuliner yang ada, tampak daratan ini dipenuhi manusia hanya kala malam hari.
Saya agak kecewa melihat kenyataan ini. Pulau yang dulu diperbicangkan sebagai Pulau Palsu oleh sebagian kritikus sosial tersebut hanya menyajikan keheningan di balik huru-hara kata-kata.Â
Akibatnya, saya malas mewawancarai segelintir orang yang lewat. Saya lebih suka memotret kegiatan jalan-jalan pagi warga yang melintasi kawasan yang dikungkung emisi zat karbon ini.
Saya juga memberanikan diri masuk ke dalam wilayah proyek. Berpura-pura tak terjadi apa-apa, saya melewati penjaga pintu berseragam biru yang tengah mengawasi kendaraan berat yang datang tiap menitnya.Â
Saya terus berjalan di jalur paving block sejauh 500 meter sebelum akhirnya penjaga itu menghentikan langkah saya dari atas motor.
"Bapak mau ke mana?"
"Ke ujung sana."
"Ini wilayah proyek, pak. Dilarang berada di sini. Bahaya."
Tujuan saya masuk ke wilayah proyek hanya sekedar test the water. Karena, Gubernur DKI kemarin pernah mengatakan bahwa orang umum bisa memasuki Pantai Maju ini; yang sebelumnya terlarang oleh pengusaha propertinya. Ternyata, hal itu tidak benar seluruhnya.Â
Pada dasarnya memang saya yang salah, karena memasuki area proyek memiliki standar khusus.Saya pun balik badan sembari menikmati harmonisasi suara dentuman mesin-mesin berat yang mengisi udara pagi, dan untitan penjaga di atas motor.
Mesin Paku bumi terus menghujam ke dalam tanah dengan asap hitam membumbung ke atas langit. Partikel-partikel hitam itu mengingatkan saya betapa marahnya Gubernur DKI yang mengetahui emisi zat karbon utara Jakarta tetap tinggi meski di malam hari. Asap itu juga membawa saya naik ke atas rute pembangunan Jalasena (Jalan Sehat dan Sepeda Santai) Pantai Maju.
Di atas Jalasena yang baru terbangun setengahnya, saya menemui Pak Sulis dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Pria itu bersama krunya berestimasi mengenai riak-riak air laut yang dihasilkan beberapa kapal nun di sana. Tampaknya, kapal-kapal tersebut memiliki aktivitas tersembunyi, yang hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu.
Pak Sulis adalah petugas Dishub yang kebetulan sedang dinas menjaga kepentingan Pantai Maju. Saat bertemu dengannya, saya ceritakan pengalaman beberapa menit sebelum sesampainya saya di rute ini.
"Jangankan Bapak. Saya saja sebagai petugas Pemda dilarang masuk," demikian jawabnya. Pernyataan beliau menciptakan tanda tanya besar : kenapa petugas resmi pemerintah daerah tidak diperbolehkan masuk ke kawasan yang berada di bawah naungan hukum mereka? Ia lalu menyarankan untuk berkeliling rute Jalasena yang memang jalurnya memutari kawasan Pantai Maju, sehingga kegiatan proyek di bawah sana akan jelas terlihat.Â
Atau, datang ke acara pengibaran bendera pada tanggal 17 Agustus 2019 besok yang digagas Pemda DKI Jakarta, yang rencananya dilakukan di Pantai Maju ini.
Hari kemerdekaan Indonesia memang tinggal beberapa hari dari berakhirnya tur yang digagas CLICK Kompasiana. Saya pun berkelakar kepada Pak Sulis sekiranya kami, dari narablog Kompasiana diberikan kehormatan untuk datang ke acara peringatan hari lahir Indonesia di atas kawasan reklamasi tersebut. Ia pun hanya menanggapi permintaan saya dengan tawa.
Matahari di utara Jakarta bersinar terang tanpa balutan awan. Kami meninggalkan lahan kontroversial ini dengan pikiran masing-masing. Di balik pikiran saya muncul pertanyaan, apakah makna merdeka dari berdirinya pulau palsu yang kini memiliki nama Pantai Maju ini?
*Paragraf ke-22 dibuat sebagai tambahan agar pembaca tidak salah paham atas perspektif saya terkait kawasan proyek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H